Sritex Resmi Ditutup, Ribuan Karyawan Terdampak PHK

  


Sukoharjo,  tjahayatimoer.net – Kepala Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Sukoharjo, Sumarno, menegaskan bahwa PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) secara resmi menghentikan operasionalnya pada Jumat (28/2/2025).

"Saya perlu menginformasikan bahwa penutupan final dilakukan pada tanggal 28 Februari ini. Sejak tanggal tersebut, Sritex tidak lagi beroperasi," ungkapnya.

Penutupan perusahaan tekstil ternama ini menandai berakhirnya era kejayaan Sritex sebagai salah satu raksasa industri tekstil di Asia Tenggara. Dengan penghentian operasional ini, tim kurator yang terdiri dari Denny Ardiansyah, Nur Hidayat, Fajar Romy Gumilar, dan Nurma Candrayani Sadikin, melalui Surat Keputusan Nomor 299/PAILIT-SSPB/1/2025, memutuskan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) bagi 10.665 karyawan pada 26 Februari 2025.

Keputusan PHK massal ini tidak terjadi secara mendadak. Prosesnya telah dimulai sejak Januari 2025, dengan perampingan tenaga kerja di beberapa perusahaan di bawah Grup Sritex. PT Bitratex Industries di Semarang lebih dahulu merumahkan 1.065 karyawannya, diikuti oleh PT Sinar Pantja Djaja (40 karyawan), PT Primayudha Mandirijaya (956 karyawan), Bitratex Semarang (bertambah 104 karyawan), serta Sritex Sukoharjo yang paling terdampak dengan 8.504 tenaga kerja kehilangan pekerjaannya.

"Sejak 26 Februari 2025, pemutusan hubungan kerja terjadi akibat status pailit perusahaan," demikian bunyi pernyataan dalam surat yang dikutip Jumat (28/2/2025).

Sumarno menambahkan bahwa para pekerja yang terkena PHK telah mulai menandatangani dokumen resmi sebagai bagian dari prosedur pencairan Jaminan Hari Tua (JHT) yang dikelola oleh BPJS Ketenagakerjaan. Selain itu, mereka juga akan menerima kompensasi melalui skema Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP), berupa bantuan tunai sebesar 60 persen dari gaji selama enam bulan, dengan syarat mereka harus aktif mencari pekerjaan baru.

“Kami sudah melakukan koordinasi dengan BPJS Ketenagakerjaan dan manajemen Sritex terkait proses pencairan JHT serta kemungkinan layanan JKP. Sementara itu, untuk urusan pembayaran Tunjangan Hari Raya (THR) dan gaji, itu menjadi tanggung jawab kurator,” terang Sumarno.

Dengan berhentinya operasional Sritex, semua kewajiban perusahaan kini menjadi tanggung jawab tim kurator, termasuk pembayaran gaji terakhir dan pesangon bagi seluruh karyawan.

Upaya Penyelamatan yang Gagal

Penutupan Sritex hanya berselang sekitar empat bulan setelah Presiden Prabowo Subianto menginstruksikan beberapa kementerian, termasuk Kementerian Perindustrian, Kementerian Keuangan, Kementerian Ketenagakerjaan, serta Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), untuk mencari solusi guna menyelamatkan perusahaan dan karyawannya dari gelombang PHK.

“Kami akan segera mengambil langkah-langkah agar perusahaan bisa tetap beroperasi dan para pekerja terhindar dari PHK,” tegas Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dalam keterangannya, dikutip Jumat (28/2/2025).

Namun, upaya penyelamatan tersebut berujung buntu. Meskipun Komisaris Utama Sritex, Iwan Setiawan Lukminto, tetap bertekad mempertahankan pabriknya dengan alasan 50.000 orang menggantungkan hidup pada perusahaan tersebut, kenyataan berkata lain. Proposal penyelamatan melalui mekanisme going concern yang diajukan manajemen Sritex pada awal Februari 2025 ditolak oleh tim kurator.

Dalam sidang di Pengadilan Niaga Semarang, Jumat (28/2/2025), Hakim Pengawas Haruno Patriadi menyatakan bahwa opsi keberlanjutan operasional tidak bisa dilaksanakan karena Sritex tidak memiliki dana yang cukup untuk melunasi utangnya.

Denny Ardiansyah, perwakilan tim kurator, menjelaskan bahwa selain masalah insolvensi, Sritex juga tidak lagi memiliki modal kerja untuk melanjutkan bisnisnya.

“Sritex mengalami kesulitan modal kerja dan beban produksi yang tinggi, sehingga melanjutkan operasionalnya justru bisa memperburuk keadaan,” ujarnya.

Utang Menggunung, Kondisi Keuangan Memburuk

Sritex mencatatkan utang sebesar 1,6 miliar dolar AS (sekitar Rp25,12 triliun) per 30 Juni 2024, meningkat dari utang sebesar Rp24,3 triliun pada September 2023. Dari total utang tersebut, sekitar 51,8 persen atau 810 juta dolar AS merupakan pinjaman bank.

Selain itu, sejak pandemi COVID-19, kinerja keuangan Sritex terus merosot. Pada 2021, perusahaan mulai mencatatkan kerugian setelah bertahun-tahun mengalami keuntungan sejak go public pada 2013. Laporan keuangan terbaru menunjukkan kerugian sebesar 25,73 juta dolar AS atau sekitar Rp403,96 miliar.

Akibat kondisi finansial yang semakin memburuk, salah satu krediturnya, PT Indo Bharat Rayon, mengajukan permohonan pailit ke Pengadilan Niaga Semarang. Pada 21 Oktober 2024, pengadilan akhirnya menetapkan Sritex dalam status pailit dan memerintahkan tim kurator untuk menyelesaikan seluruh kewajiban perusahaan, termasuk pesangon karyawan.

Tim kurator kini bertugas menilai aset-aset Sritex sebelum melelangnya guna melunasi utang serta memberikan kompensasi bagi pekerja yang terkena dampak PHK. Namun, hingga kini, jumlah pasti pesangon yang akan diterima karyawan masih belum ditentukan.

“Kami belum bisa memastikan besaran pesangon. Kami meminta serikat pekerja dan Disnaker membantu menghitung sesuai regulasi,” kata Denny Ardiansyah, mewakili tim kurator.

Nasib Buruh dan Langkah Pemerintah

Direktur Utama Sritex, Iwan Kurniawan Lukminto, mengungkapkan kesedihannya atas keputusan PHK massal yang harus dijalankan. “Kami sangat berduka, tetapi kami harus tetap memberi semangat kepada para pekerja,” ujarnya.

Sementara itu, Wakil Menteri Ketenagakerjaan, Immanuel Ebenezer, menegaskan bahwa pemerintah akan memastikan para pekerja yang terkena PHK mendapat hak-haknya, termasuk pesangon dan peluang kerja baru.

“Negara bertanggung jawab memastikan para buruh mendapatkan pesangon, JKP, dan JHT,” katanya.

Sebagai solusi, Dinas Ketenagakerjaan akan mendata para pekerja terdampak dan memberikan kesempatan pelatihan di Balai Latihan Kerja (BLK) bagi mereka yang ingin beralih profesi.

Namun, pakar ketenagakerjaan dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Tadjudin Nur Effendi, menilai langkah-langkah penyelamatan yang sebelumnya dijanjikan pemerintah hanya sekadar retorika. “Faktanya, PHK tetap terjadi. Pemerintah seakan tidak berbuat apa-apa,” kritiknya.

Dengan gelombang PHK yang terus meningkat, kasus Sritex menjadi cerminan tantangan besar yang dihadapi industri tekstil di Indonesia. Ke depan, pemerintah perlu lebih serius dalam menciptakan solusi yang berkelanjutan guna menjaga stabilitas ketenagakerjaan dan industri nasional.(Red.AL)

Posting Komentar

0 Komentar