Kediri, tjahayatimoer.net - Jika Anda melewati jalanan di Desa Bringin, Kecamatan Badas, mata Anda akan dimanjakan oleh deretan kios penjual madu yang berjajar di sepanjang jalan. Desa ini dikenal sebagai pusat peternakan madu, di mana para peternak membuka kios untuk memasarkan produk mereka secara langsung kepada konsumen.
Salah satu peternak madu yang merasakan dampak situasi ini adalah Wasis Handoko, pemilik merek Madu Bremono. Meneruskan usaha dari sang ayah yang dimulai sejak 1988, Wasis mengaku bahwa bisnis madu kini tak lagi semanis dulu. Selain sulitnya menemukan sumber nektar dari pohon randu yang paling diminati konsumen, produksi madu juga terus menurun. Satu kotak lebah yang dulu bisa menghasilkan hingga 30 kilogram madu kini hanya menghasilkan separuhnya.
"Karena bantal dan kasur sudah tidak lagi memakai kapuk randu, jadi pohon randu makin langka," ungkap Wasis. Untuk mendapatkan pohon randu, Wasis bahkan harus mencari hingga ke Kabupaten Pati dan Jepara di Jawa Tengah, dan juga daerah-daerah di Jawa Timur seperti Pasuruan dan Banyuwangi. Namun, usaha kerasnya tetap tak bisa menutup turunnya produksi madu yang drastis.
Harga Madu Anjlok dan Ongkos Produksi Membengkak
Ironisnya, meski madu semakin sulit diperoleh, harganya justru turun di pasaran. Harga grosir yang dulu mencapai Rp 90 ribu per kilogram kini hanya sekitar Rp 45 ribu. "Harga itu tidak sebanding dengan biaya produksi," kata Wasis. Peternak kini harus mengeluarkan lebih banyak untuk pakan lebah terutama saat tidak musim bunga.
Agar tetap bertahan, banyak peternak juga mulai menjual produk tambahan seperti bee pollen, sarang madu, dan bibit lebah. “Kalau tidak begitu, kami bisa gulung tikar,” keluh Wasis.
Cuaca Tak Menentu Jadi Tantangan Tambahan
Selain ketiadaan pohon randu, cuaca yang tak menentu juga memperburuk keadaan. Ali Makmum Zamzami, peternak madu lainnya, terpaksa mengurangi jumlah kotak lebah dari 120 menjadi hanya 70 kotak. Biaya operasional yang meningkat membuat Ali harus mencari pekerjaan sampingan.
Menurut Wanto, peternak madu yang juga memiliki kios di Desa Bringin, jumlah peternak madu di daerah tersebut terus menyusut. Kini, hanya sekitar 30 peternak yang masih bertahan, sementara lainnya memilih beralih profesi karena modal yang terus meningkat.
Di sisi lain, harga madu yang anjlok juga dipengaruhi oleh persaingan ketat di platform penjualan daring seperti TikTok Shop. Para penjual di platform tersebut seringkali menjual madu dengan harga jauh lebih murah tanpa menjamin keaslian produknya, sehingga semakin menekan harga pasar bagi para peternak lokal.
Penutup:
Peternak madu di Kediri kini dihadapkan pada berbagai tantangan berat. Mulai dari penurunan produksi, harga yang jatuh, hingga persaingan harga murah di platform online. Mereka berharap ada solusi untuk mengatasi kendala ini agar bisa kembali bangkit.(Red.AL)
0 Komentar