Memahami Kebijakan Kabinet Merah Putih: Perspektif Neurosains dan Kepemimpinan

  


JAKARTA,  tjahayatimoer.net  – Dengan latar belakang pendidikan kedokteran dan doktoral di bidang bedah saraf, saya aktif dalam pengembangan neurosains terapan di Universitas Prima Indonesia dan Universiti Brunei Darussalam. Di sini, saya mengkaji hubungan antara neurosains dan kepemimpinan, yang sering disebut sebagai neuroleadership. Pendekatan ini menggabungkan pemahaman tentang cara kerja otak dan perilaku manusia dalam konteks kepemimpinan.

Saat ini, fokus perhatian masyarakat Indonesia teralih kepada transformasi pemerintahan yang berlangsung menjelang akhir 2024. Sejak pelantikan Prabowo Subianto sebagai Presiden, banyak berita bermunculan mengenai pembentukan kabinet baru yang diprediksi akan mencakup banyak nomenklatur dan posisi.

Tantangan dalam Struktur Kabinet

Dalam situasi dunia yang bergerak cepat, organisasi perlu memiliki struktur yang ringkas untuk bergerak secara efisien. Namun, penambahan kementerian dalam Kabinet Merah Putih lebih banyak terkesan sebagai penggabungan institusi yang telah ada, yang berpotensi memperpanjang rantai birokrasi. Sementara dalam prakteknya, efektivitas suatu organisasi tidak ditentukan oleh banyaknya lembaga, tetapi sebaliknya.

Ada harapan bahwa penambahan kementerian akan meningkatkan fokus dan spesialisasi masing-masing menteri. Namun, dalam realitas saat ini, hampir semua bidang saling berkaitan dan tidak dapat berdiri sendiri. Pengalaman saya sebagai dosen memperlihatkan bahwa sinergi antara kementerian sangat penting untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pemisahan nomenklatur, seperti saat penggabungan bidang riset dan pendidikan tinggi, telah menciptakan tantangan administratif yang signifikan.

Rantai Birokrasi dan Stabilitas Politik

Jika kita memperhitungkan bahwa jumlah kementerian mencapai 50, hanya diperlukan tujuh kementerian koordinator untuk menjaga agar pemerintahan berjalan dengan ringkas. Pertanyaannya adalah, mengapa jumlah kementerian harus sebanyak itu? Hal ini mengarah pada kemungkinan alokasi anggaran APBN yang besar untuk operasional kementerian, menteri, dan wakil menteri, serta implikasi terhadap stabilitas politik.

Keputusan untuk membentuk kabinet yang besar ini dapat dipahami melalui pendekatan neurosains. Manusia membuat keputusan menggunakan dua bagian penting dari otaknya: otak depan (yang berfungsi untuk berpikir kritis) dan sistem limbik (yang mengatur emosi). Sebagian besar keputusan dipengaruhi oleh emosi, seperti rasa takut, yang dapat menjelaskan mengapa upaya untuk mengakomodasi berbagai pihak dilakukan.

Kontradiksi dalam Kebijakan dan Stabilitas

Melihat keputusan untuk membentuk kabinet yang besar dari perspektif perilaku manusia, kita dapat memahami upaya untuk menjaga stabilitas politik dengan mengakomodasi berbagai kepentingan. Namun, hal ini menciptakan kontradiksi dalam pidato pelantikan Presiden Prabowo, yang menginginkan keberanian dan kecepatan dalam pemerintahan. Jika fokus utama adalah stabilitas, akan ada pengorbanan yang harus dilakukan dalam hal efisiensi dan kecepatan birokrasi.

Dengan semua pertimbangan ini, harapan besar tetap ada untuk kebijakan yang lebih baik ke depannya. Selamat bekerja, Presiden Prabowo! Mari kita lihat bagaimana kebijakan ini akan diimplementasikan dalam perjalanan ke depan.(Red.AL)

Posting Komentar

0 Komentar