Lipsus HUT RI: Sekolah Taman Siswa Kota Kediri Layak Menjadi Cagar Budaya

 


Kediri,   tjahayatimoer.net  - Pemberian status cagar budaya terhadap sekolah yang sudah berdiri sejak 92 tahun ini disambut suka cita oleh keluarga besar Yayasan Taman Siswa.

Tak terkecuali bagi Christinawati, salah seorang alumni. Itu juga merupakan keinginan para senior saat berkumpul dalam peringatan satu abad Taman Siswa, Juli 2022 lalu.

“Kami sepakati dan bentuk tim (untuk mengajukan permohonan, Red),” katanya.

Kabar tentang status cagar budaya itupun baru diterimanya kemarin. Meski senang, tetap ada perasaan sedih yang dirasakan. Melihat kondisi sekolah yang semakin tergerus zaman.

“Karena sekarang kegiatan pendidikan sepi,” sesalnya.

Dia menyoroti aktivitas pendidikan di Taman Siswa yang terdampak semakin berkembangnya sekolah negeri di pelosok desa. Sehingga, menyebabkan Sekolah Taman Siswa merana di semua level.

“Apalagi gedungnya sudah tua. Kalau muridnya sedikit otomatis tidak bisa mendapat bantuan dana BOS. Sementara kami menghimpun dana dari alumni pun tidak mudah,” tandas dosen Sastra Inggris Universitas Airlangga itu.

Dia pun mengurai kembali kenangannya saat masih menuntut pendidikan SD dan SMP di tempat ini. Di era 70-an itu, sekolah rintisan Ki Hajar Dewantara ini masih jaya-jayanya.

Kini, jenjang SD pun sudah tidak ada. Pun dengan jenjang SMA yang juga ditiadakan.

Hati para alumni pun terenyuh saat kembali ke sekolah pada 2022 lalu. Para senior yang hadir dari seluruh daerah di Indonesia itupun menyaksikan sendiri bagaimana zaman mengikis eksistensi sekolah.

“Alumni waktu itu datang dari Kalimantan, Sumatera, Jakarta, dan sebagainya, itupun juga menangis ketika melihat kondisi sekolah seperti itu,” sambungnya sembari menyebut, status cagar budaya itu menjadi kabar baik bagi seluruh keluarga besar alumni Taman Siswa Kediri.

“Senang sekali kami ada kabar itu,” tutupnya.

Terpisah, anggota Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) Sidoarjo Budi Fathoni mengatakan, suatu bangunan bisa dikatakan menjadi cagar budaya jika minimal berusia 50 tahun.

Nilai sejarah di baliknya bisa sekaligus menambah poin penilaian suatu objek.

Akademisi dari Institut Teknologi Nasional (ITN) Malang itu menekankan, merawat objek cagar budaya bisa dengan cara pengelolaan secara pentahelix.

Dia mencontohkan kawasan Kayutangan di Kota Malang yang bisa dikelola menjadi kawasan heritage. Bahkan, menarik wisatawan dari mancanegara.

“Selama itu tidak dipugar atau dihancurkan, tetap harus kita jaga. Kalau dipakai untuk kegiatan usaha seperti homestay atau kafe, malah memberikan daya jual,” ujarnya memberikan contoh pelestarian objek cagar budaya yang tetap bisa memberikan kebermanfaatan bagi masyarakat.

Pembina komunitas Pelestari Sejarah Budaya Kediri (PASAK) Novi Bahrul Munib juga menyoroti tentang pengelolaan pasca-penetapan cagar budaya.

Selain mengesahkan cagar budaya, yang tak kalah krusial adalah pemeliharaan selanjutnya lewat pemanfaatan bangunan.

“Karena kalau tidak dimanfaatkan, orang akan lupa. Akhirnya nggak terawat,” katanya.

Kembali ke Sekolah Taman Siswa, karena gedung yang masih eksis untuk kegiatan pendidikan, menurutnya tinggal informasi terkait sejarahnya yang harus digaungkan.

Untuk itu, perlu dibentuknya program bersama. Baik antara yayasan, dinas pendidikan, maupun dinas kebudayaan.

“Intinya, pelestarian itu tidak berhenti di barangnya utuh atau tetap. Tapi juga bisa bermanfaat untuk semua orang. Bisa dimanfaatkan dan diakses banyak orang,” pungkasnya.(Red.AL)

Posting Komentar

0 Komentar