Kediri, tjahayatimoer.net - Para pekerja seks yang praktik di eks Lokalisasi Dadapan, sebenarnya pernah berusaha bertobat. Yakni, dengan bekerja di pabrik yang dinilai halal. Namun, hal tersebut tak bertahan lama. Mereka kembali ke lokalisasi karena penghasilan yang didapat dinilai lebih menjanjikan. Meski, harus menerima risiko dikucilkan dan terkena penyakit human immuno virus (HIV) atau acquired immune deficiency syndrome (AIDS).
Seperti diakui oleh Bunga (bukan nama sebenarnya). Perempuan berusia 25 tahun asal Bandung, Jawa Barat itu menyadari jika pekerjaannya tidak patut. Bahkan secara hukum juga dinilai salah karena melakukan prostitusi.
Perempuan yang terjun ke lembah hitam sejak usia 18 tahun itu pun sempat bertobat. Dia mencari pekerjaan halal dengan menjadi buruh pabrik di Jawa Tengah. “Gajinya lumayan. Ditambah uang lembur bisa Rp 3,9 juta,” aku perempuan yang menjadi pekerja seks komersil (PSK) sejak 2017 silam itu.
Nyatanya, perempuan yang paha dan betisnya penuh dengan tato itu tak betah bekerja di pabrik. Alasannya, beban pekerjaan di pabrik sangat berat. Setidaknya, jauh lebih berat dibanding pekerjaannya sebagai PSK. Yakni, tinggal menyanyi atau melayani pelanggan yang ingin bersetubuh.
Sekitar setahun bekerja di pabrik, dia memilih untuk keluar. Pilihannya pun kembali ke eks Lokalisasi Dadapan. Pekerjaan yang penuh risiko hukum dan penyakit berbahaya itu tetap dilakoni.
Hanya dengan menemani karaoke saja, Bunga memang bisa mendapat Rp 50 ribu per jam. Uang yang lebih banyak didapat jika pelanggan mengajaknya bersetubuh. Yakni, Rp 200 ribu per orang. “Sehari bisa ratusan ribu. Jauh lebih banyak dari gaji di pabrik,” lanjutnya tersenyum simpul.
Jika Bunga menganggap pekerjaannya sebagai PSK lebih menjanjikan, Senja (bukan nama sebenarnya), mengaku tetap praktik di eks Lokalisasi Dadapan karena tidak punya pilihan lagi. “Sudah 15 tahun (bekerja sebagai PSK, Red),” tutur perempuan yang tinggal di Kecamatan Pesantren itu.
Dia tidak bisa lagi alih pekerjaan. Sebab, sejak muda memang sudah menjadi PSK. Senada dengan Senja, Ndalu (bukan nama sebenarnya), juga mengaku tidak memiliki opsi pekerjaan lain. “Ora enek liyane. Lek wis ora enek pelanggan ya prei (Tidak ada pekerjaan lainnya. Kalau sudah tidak ada pelanggan baru berhenti jadi PSK, Red),” sambung Ndalu.
Bagaimana cara mereka menyembunyikan pekerjaannya dari keluarga? Dengan santainya Senja mengaku jika suaminya tahu pekerjaannya itu. Namun, suaminya tetap cuek.
Hanya saja, Senja tahu diri. Setidaknya tetap menyembunyikan statusnya sebagai PSK dari lingkungannya. Yakni, dengan tidak melayani pelanggan di rumah. “Kalau menelepon juga jangan pas hari Minggu. Kalau Minggu suamiku di rumah,” tutur Senja mewanti-wanti wartawan koran ini yang disangka akan kembali mem-booking dirinya.
Jika Senja tidak menyembunyikan pekerjaannya, Ndalu justru sebaliknya. Kepada keluarganya di Malang, dia mengaku bekerja sebagai penjaga toko. “Lek ngerti dadi PSK ya isin,” tuturnya dengan logat Malang yang kental.
Selayaknya penjaga toko, Ndalu memilih pulang sebulan sekali. Yakni, saat uang dari hasil melayani pelanggannya sudah terkumpul. “Kalau pas pelanggan sepi ya ora mulih,” paparnya bersyukur anak dan kerabatnya tidak curiga dengan pekerjaan terlarangnya itu.
Seperti diberitakan, meski eks Lokalisasi di wilayah Kabupaten Kediri sudah ditertibkan, faktanya lokalisasi tetap beroperasi. Seperti di eks Lokalisasi Dadapan. PSK-nya tidak hanya dari Kediri. Mayoritas justru dari luar daerah.
Seperti Blitar, Malang, Jawa Tengah, Bandung, Surabaya, Lumajang, Bogor, dan Madiun. Khusus untuk eks Lokalisasi Dadapan, pemerintah desa mengaku kesulitan menertibkan karena pemilik wisma merupakan warga lokal yang mempunyai sertifikat tanah.
Apalagi, mereka juga memiliki warung yang merupakan sumber penghidupan. Seperti warga lainnya, para penghuni lokalisasi yang berhak mendapat bantuan juga tetap mendapat alokasi bantuan sosial (bansos). (Red.AL)
0 Komentar