KEDIRI , tjahayatimoer.net- Deretan warung soto ayam sepanjang jalan Kediri-Tulungagung di Desa Branggahan dengan mudah kita jumpai. Saking banyaknya sudah seperti sentra kuliner soto. Bahkan, tak sedikit orang yang mengenal nama Branggahan karena sotonya. Bukan profil atau sejarah desanya.
Kuliner soto ayam Branggahan memiliki potensi besar untuk dikembangkan. Oleh karena itu, pemerintah desa (pemdes) setempat mendukungnya. Pasalnya, ada puluhan orang yang menggantungkan hidupnya dari berjualan soto tersebut.
Seperti halnya Mujiati, salah satu penjual soto Branggahan. Dia mengaku sedikitnya ada 50 orang yang berjualan soto di sana. “Memang banyak yang menggantungkan nasibnya dengan berjualan soto,” cerita pengelola warung soto Branggahan dengan nama Sukati tersebut.
Menurutnya, kuliner soto ayam Branggahan sudah ada sejak 1970. Selain rasa, mangkuk yang digunakan juga khas. Pasalnya, mereka menggunakan mangkuk kecil. Namun, beberapa warung tetap menyediakan mangkuk normal. Pasalnya, tak sedikit yang kurang puas jika hanya ukuran kecil.
Keberadaan kuliner soto ini secara tidak langsung memberi dampak bagi desa. Pasalnya, nama Branggahan menjadi banyak dikenal oleh masyarakat luas. Lebih dari itu, sentra kuliner ini mampu mendongkrak perekonomian warga.
Mujiati dan pedagang lainnya mengaku tidak khawatir untuk bersaing. Mereka juga tidak masalah dengan banyak penjualnya di sana. Justru itu semua menjadi kekuatan promosi soto Branggahan.
“Masing-masing pedagang soto ayam Branggahan punya pelanggannya masing-masing,” ucap Mujiati.
Sementara itu, Kades Branggahan Sapi’i mengaku bangga dengan keberadaan sentra kuliner tersebut. “Kami sangat mendukung adanya kuliner soto branggahan,” tutur Sapi’i.
Selama ini pemdes juga telah memberikan pelatihan pengolahan limbah jualan. Limbah tersebut dapat difungsikan menjadi pakan hewan.
Desa Branggahan memiliki beberapa potensi ekonomi. Tidak hanya sotonya. Di sana juga terdapat sentra penjualan bunga dan tanaman hias. Tercatat, ada puluhan orang yang berbisnis ini.
Dari puluhan pengusaha tanaman hias tersebut salah satunya adalah Karya. Dia adalah salah satu pembudidaya bunga dan tanaman hias di sana. “Diantaranya ada rombusa, brokoli, puring, dan aglonema. Macam-macam jenisnya,” terangnya.
Karya menjelaskan bahwa maraknya budidaya bunga di desanya sudah lebih dari sepuluh tahun lalu. Meski hanya menjual bunga hias namun usaha tersebut ternyata sangat menjanjikan. Tiap minggu sekali, dia bisa panen dua sampai tiga kali. Tiap kali panen biasanya bisa terjual 200-250 pot.
Soal besar kecilnya keuntungan, semuanya tergantung jenis dan jumlah pesanan bunga. Menurut Karya, harga bunga yang ditanam bervariasi. Tergantung jenisnya. Mulai dari harga Rp 15 ribu hingga Rp 200 ribu. Yang paling murah jenis rombusa. Yang paling mahal jenis palem.
Tidak hanya dari Kediri, agen bunga yang berlangganan padanya kebanyakan berasal dari luar kota. Seperti Malang, Pasuruan, dan Bojonegoro. Tak hanya itu, sebagian agen dari luar provinsi juga. Antara lain Solo dan Klaten.
Namun, yang namanya usaha tentu ada kesulitannya. Apalagi, di musim hujan. “Pertumbuhan beberapa jenis bunga sedikit terganggu,”ujar Karya.
Tak hanya itu, dia juga terkendala soal harga yang anjlok. Menurut Karya, kondisi tersebut terjadi lantaran tidak adanya kelompok pembudidaya tanaman hias di desanya.
“Karena itu harga tanaman hias dari desa kami tidak punya patokan terendah,” ungkapnya. Oleh sebab itu, dia berharap agar para pembudidaya bunga di desanya bersepakat untuk membentuk kelompok.(red.Tim)
0 Komentar