Tugu Tapal Batas Dari Era Raja Kertajaya Ditemukan di Desa Kayunan Plosoklaten Kediri


Kediri,   tjahayatimoer.net  - Benda yang diduga tugu tapal batas berangka tahun 1.123 Saka ditemukan di areal penggalian tanah untuk tanah uruk di Desa Kayunan, Kecamatan Plosoklaten, Kabupaten Kediri.  

Tugu tapal batas ini berukuran tinggi 170 cm tebal 76 cm.

Di sekitarnya juga ditemukan struktur batu bata, kaki patung dan umpak. 


Peninggalan-peninggalan itu diduga berasal dari era Raja Kertajaya, raja Panjalu Kadiri terakhir yang berkuasa dari tahun 1.112-1.138 Saka.

Erwan Yudiono , saksi yang kali pertama menemukan struktur tugu tapal batas menjelaskan, awalnya  dirinya tidak sengaja menemukan dan hanya karena penasaran.

“Saya melihat temuan padmasana di Desa Kayunan yang diamankan saudara Eko dan disimpan di rumahnya di Plaosan Kecamatan Plosoklaten yang berjarak 5 km dari lokasi," jelasnya.

Karena penasaran, dia mendatangi lokasi tempat padmasana ditemukan. Di lokasi itu ternyata ada penggalian lahan untuk tanah urug . 

"Saat penggalian juga banyak ditemukan struktur batu bata dan juga tugu tapal batas yang berangka tahun 1123 Saka era peninggalan Raja Kertajaya,” kata Erwan yang juga Wakil Ketua Pelestari Sejarah Budaya Khadiri.

Kabar penemuan itu dilaporkan Erwan Yudiono ke Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Kediri serta Dewan Kesenian dan Kebudayaan Kabupaten Kediri (DK4), Kamis (11/1/2024).



Setelah mendapat laporan   perwakilan dinas dan DK4 mendatangi lokasi.

Ketua DK4, Imam Mubarok yang meninjau lokasi menyebutkan tuga tapal batas merupakan temuan yang sangat luar biasa dan menambah kekayaan benda purbakala yang dimiliki Kediri dari peninggalan masa lalu. 

"Desa Kayunan ini sudah lama menjadi penelitian ahli dari Belanda. Memang disini banyak ditemukan struktur bangunan purbakala, namun banyak yang dijarah oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dari dulu hingga sekarang,” ungkap Imam Mubarok, Jumat (12/1/2024).

Imam Mubarok juga mendesak Pemkab Kediri segera membentuk Lembaga Adat Desa (LAD) di masing-masing desa di seluruh Kabupaten Kediri seperti yang telah direkomendasikan DK4 sesuai tugas dan wewenangnya berdasarkan Perbup nomer 50/2021.

“Salah satu tujuannya, LAD bertugas menjaga benda purbakala yang ada di masing-masing wilayahnya agar tetap lestari jangan sampai dijarah dan dijual ke luar negeri," jelasnya


Karena di Desa Kayunan benda purbakalannya sudah banyak yang hilang baik dalam bentuk benda purbakala dan peninggalan perhiasan berupa emas.  Selain itu penting melakukan sosialisasi kepada masyarakat tentang UU 11/2010 tentang Cagar budaya.

Imam Mubarok menjelaskan, bukti benda purbakala yang hilang di Kayunan ternyata sudah terjadi sejak ratusan tahun lalu terjadi.

Wilayah itu awalnya dikuasai Sri Sarweswara, Raja Panjalu yang memerintah sekitar tahun 1159-1169. 


Nama gelar Abhisekanya ialah Sri Maharaja Rakai Sirikan Sri Sarweswara Janardanawatara Wijaya Agrajasama Singhadani Waryawirya Parakrama Digjaya Uttunggadewa.

"Sri Sarweswara  berkuasa setelah Prabu Jayabaya," tambahnya.

Tidak diketahui dengan pasti kapan Sri Sarweswara naik takhta. Menurut  Prasasti Jaring  (1181 M), Sarweswara merebut tahta kerajaan Kadiri dari Jayabaya. 

Peninggalan sejarah Sarweswara adalah Prasasti Padlegan II tanggal 23 September 1159. Sedangkan yang paling muda adalah Prasasti Kahyunan tertanggal 23 Februari 1161.

Prasasti Kayunan /Kahyunan  ditemukan oleh  J. F. De Corte pada 1887 di Kayunan, distrik Sukorejo afdeeling Kediri. Publikasi paling awal mengenai batu yang bersangkutan datang dari catatan kolonial yang menyebut bahwa batu tersebut sudah dibuatkan abklatsnya. 

Pada batu dari Kayunan  ini terdapat angka tahun 1082 Śaka dan nama Śrī Sarvveśvara Janardanāvatāre vijayāgra ... sinhanādānivăryya-vīryya parākrama digjayottungadeva (NBG 26 1888: 12 & Bijl. II, IX).



erbeek mencatat bahwa aksara dipahatkan pada keempat bidang batu, namun pada bagian belakang sudah rusak parah. 

Selain batu yang bersangkutan, di desa yang sama juga ditemukan arca bertangan empat yang sudah rusak serta arca Siwa dengan wujudnya sebagai guru (1891: 278, no. 573). 

Hampir 20 tahun kemudian, Knebel melaporkan bahwa batu ini sudah tidak ditemukan lagi di Kayunan (1910: 270). Batu ini juga dimasukkan dalan daftar prasasti berangka tahun dari Jawa yang disusun oleh Krom (1911: 251). 

Penulis yang sama juga mengulas batu ini secara singkat dalam kajiannya mengenai Kerajaan Kediri Krom berhasil melengkapi nama raja yang sebelumnya masih kosong, yaitu rake sirikan śr sarvveśvara janardanāvatāra vijayāgra(j)asamasinhanādānivăryya-vīryya parăkrame digjayottungadevanāma. Pada bagian akhir publikasi dilengkapi dengan peta sebaran temuan prasasti dari Kerajaan Kediri (1914: 242, 245-246). 

Batu ini kemudian masuk dalam daftar prasasti yang disusun oleh Damais dan dinamakan dengan Prasasti Kahyunan/Kayunan Damais mencatat bahwa prasasti tersebut dikeluarkan pada tanggal 23 Februari 1161 Masehi (1952: 68-69, A. 156). 



erbeek mencatat bahwa aksara dipahatkan pada keempat bidang batu, namun pada bagian belakang sudah rusak parah. 

Selain batu yang bersangkutan, di desa yang sama juga ditemukan arca bertangan empat yang sudah rusak serta arca Siwa dengan wujudnya sebagai guru (1891: 278, no. 573). 

Hampir 20 tahun kemudian, Knebel melaporkan bahwa batu ini sudah tidak ditemukan lagi di Kayunan (1910: 270). Batu ini juga dimasukkan dalan daftar prasasti berangka tahun dari Jawa yang disusun oleh Krom (1911: 251). 

Penulis yang sama juga mengulas batu ini secara singkat dalam kajiannya mengenai Kerajaan Kediri Krom berhasil melengkapi nama raja yang sebelumnya masih kosong, yaitu rake sirikan śr sarvveśvara janardanāvatāra vijayāgra(j)asamasinhanādānivăryya-vīryya parăkrame digjayottungadevanāma. Pada bagian akhir publikasi dilengkapi dengan peta sebaran temuan prasasti dari Kerajaan Kediri (1914: 242, 245-246). 

Batu ini kemudian masuk dalam daftar prasasti yang disusun oleh Damais dan dinamakan dengan Prasasti Kahyunan/Kayunan Damais mencatat bahwa prasasti tersebut dikeluarkan pada tanggal 23 Februari 1161 Masehi (1952: 68-69, A. 156). 


Prasasti ini masih disebut pada beberapa terbitan selanjutnya (Eade & Gislen 2000: 87-89; Budi Santosa Wibowo 2001: 9). Namun keberadaan dari batu ini masih belum diketahui sampai saat ini. 

Imam Mubarok menjelaskan, temuan ini sudah dilaporkan ke Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah 11 dan akan segera ditindaklanjuti dengan mendatangi lokasi.

"Untuk keamanan lokasi  saya sudah titip sama Pak Kades agar diawasi,” jelasnya.(red.al)



Posting Komentar

0 Komentar