Sulitnya Memberantas Cacar Monyet

  


  tjahayatimoer.net  - Pasien pertama yang terjangkit virus monkeypox atau cacar monyet kebetulan merupakan orang dengan HIV (ODHIV). Hal tersebut diungkapkan Direktur Surveilans dan Kekarantinaan Kesehatan Kemenkes Achmad Farchanny Tri Adryanto. Mulanya pada tanggal 12 Oktober pasien melakukan pemeriksaan rutin di salah satu puskesmas di Jakarta, di sana ditemui gejala penyakit mpox.

Atas persetujuan pasien, kemudian dilakukan pemeriksaan lebih lanjut. Spesimen diambil dari salah satu luka yang ada di tubuh pasien. Sampel itu dibawa dan diperiksa di laboratorium rujukan nasional. Keesokan harinya diketahui pasien positif virus mpox.

"Kami minta semua puskesmas di DKI melakukan sosialisasi. Terutama yang menunjukkan gejala seperti cacar segera ditindaklanjuti untuk dilakukan pengambilan spesimen diperiksa Mpox-nya. Nah, semenjak itu, baru bermunculan di kasus-kasus," jelas Farchanny.

Setelah temuan satu pasien positif, ditindaklanjuti dengan penyelidikan epidemiologi, yaitu contact tracing. Semua orang yang melakukan kontak erat baik sosial maupun seksual dengan pasien, dilakukan pemeriksaan. Orang-orang yang melakukan kontak sosial didapati negatif mpox. Namun satu orang yang melakukan kontak seksual terbukti positif.

Penularan penyakit virus zoonosis ini melalui kontak seksual. Setidaknya, kata Farchanny, itu yang terjadi terhadap 59 kasus terjangkit mpox, per 30 November. Kasus positif itu berasal dari 218 spesimen yang diperiksa: 21 di antaranya merupakan ODHIV, 17 orang menderita sifilis atau perpaduan antara keduanya, dan ada pula ODHIV yang juga disertai penyakit TBC dan virus herpes simpleks (HSV). Berbagai kasus tersebut tidak berasal dari kelompok penularan yang sama, tak terkait satu sama lainnya.

“Yang jelas, semuanya (pasien) laki-laki. Kami belum dapatkan perempuan,” tuturnya.

Farchanny memaparkan, kasus positif mpox tersebar ke beberapa kota. Selain Jakarta, ada Tangerang, Tangerang Selatan, Batam, Kota Batam, Madiun, Surabaya, Cirebon, Bandung, dan Bogor. Penyakit ini menjangkit pada komunitas atau orang dengan perilaku seks berisiko, seperti berganti-ganti pasangan. Risiko penularan bertambah jika orang tersebut memiliki daya tahan tubuh yang lemah. Untuk itu ODHIV menjadi salah satu kelompok rentan dan harus dilindungi dari paparan mpox.

"Artinya ada yang menaungi dari NGO, dari LSM, kesadaran mereka untuk melakukan pemeriksaan itu memang lebih banyak di Jakarta. Yang dalam kesadaran sendiri, dalam melakukan pemeriksaan. Sama yang selama ini, dapat obat HIV yang rutin itu juga banyak di Jakarta," ujarnya.

Menurutnya mpox bukan penyakit mematikan. Di kondisi daya tahan tubuh normal, penyakit ini dapat sembuh dengan sendirinya dalam dua minggu. Namun risikonya akan meningkat bagi para penderita ODHIV dengan kekebalan tubuh yang lemah dan disertai penyakit penyerta.

"Ada dua pasien mpox ini yang gejalanya berat, itu karena HIV-nya juga berat. Artinya, kekebalan tubuhnya itu sudah rendah sekali sehingga manifestasi timbulnya mpox ini menjadi lebih berat dari yang lain," jelasnya.

Adapun satu pasien mpox yang meninggal, menurut Kemenkes bukan karena infeksi cacar monyetnya, tetapi kondisi dari penyakit penyertanya. Adapun sisa pasien lainnya dikabarkan dalam kondisi stabil dalam isolasi.

"Kau dari monkeypox sendiri itu belum ada reportnya ya yang karena monkey pox itu kemudian meninggal," lanjut Farchanny.

Farchanny menjelaskan mpox yang beredar di Indonesia memiliki riwayat DNA berasal dari mpox yang berkembang di Afrika Barat. Jenis dari Afrika Barat ini diklaim lebih ringan jika dibandingkan dengan virus yang berasal dari Afrika Tengah (Kongo).

Menurut Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kementerian Kesehatan, Siti Nadia Tarmizi, kini total kasus mpox yang pernah ada di Indonesia sebanyak 62 orang. Hanya 38 di antaranya yang masih dirawat atau berstatus sebagai pasien.

Cacar monyet, kata Nadia, mayoritas menjangkit kelompok rentang yang memiliki imunitas rendah seperti ODHIV. Selain itu, risiko penularan mpox juga meningkat pada perilaku seks yang berisiko, yaitu bergonta-ganti pasangan. Dugaan itu diperkuat dengan belum adanya temuan kasus positif pada anak. Selain itu mayoritas pasien positif berusia 20-30 tahun.

"Karena kan biasanya polanya. Kalau kita lihat itu ada di sekitar kemaluan (luka cacar yang terbuka memudahkan penularan). Dan ada radang serta pembesaran kelenjar getah bening Di sekitar paha," kata Nadia kepada detikX Sabtu, 2 Desember lalu.

Jangan Stigma Kelompok Rentan

Penting bagi kita untuk menghindari pelabelan buruk atau pelekatan stigma sosial terhadap kelompok minoritas yang rentan terjangkit mpox. Sebab, hal tersebut akan semakin menyulitkan menjangkau untuk pengendalian, pencegahan, edukasi, hingga promosi kesehatan terkait mpox. Kemkes setuju terkait hal ini.

Tantangan memberantas penyakit ini terletak pada masifnya stigma negatif yang sering disematkan kepada kelompok rentan mpox. Achmad Farchanny Tri Adryanto menjelaskan, pasien positif mayoritas ada pada populasi kunci yang mereka istilahkan Laki-laki Seks dengan Laki-laki (LSL), pelaku seks berisiko (berganti-ganti pasangan), dan ODHIV. Adanya stigma negatif terhadap populasi kunci, membuat mereka tidak leluasa memeriksakan diri.

"Nah di antara mereka sendiri ini kan lebih banyak tertutupnya, komunitas-komunitas yang tertutup sebenarnya. Kita tidak bisa sendirian, artinya kita butuh bantuan dari organisasi atau lembaga-lembaga yang memang selama ini melakukan pendampingan terhadap ODHIV ini, terhadap kelompok-kelompok LSL ini," kata Farchanny.

Selain itu, para tenaga kesehatan juga disebut rentan terkena mpox. Penularan dapat terjadi karena kontak dengan pasien. Untuk itu ke depan Kemenkes akan melakukan vaksinasi secara menyeluruh, terutama bagi kelompok rentang mpox.

"Makanya, dalam perintah vaksinasi ini, selain komunitas kunci tadi, petugas kesehatan yang menangani ini, termasuk petugas kesehatan kita yang di lab, yang melakukan pemeriksaan spesimen, itu yang juga kita vaksinasi," ujarnya.

Siti Nadia Tarmizi mengakui agak kesulitan melakukan pelacakan kontak erat. Secara prosedur Kemkes akan memeriksa pasangan pasien (hubungan seksual). Namun fakta saat ini menunjukkan mayoritas dari keseluruhan kasus positif tidak terhubung dalam satu hubungan atau bahkan tidak saling mengenal. Artinya tidak berasal dari satu kelompok penularan

Selain itu, diduga kuat masih ada kasus-kasus positif di populasi rentan yang tidak terdeteksi. Kondisi makin rumit saat pasangan pasien tersebut bergonta-ganti pasangan. Menurut Nadia, bisa jadi salah satu orang sudah sembuh, tetapi sebelumnya sempat menularkan ke orang lain tanpa diketahui.

"Prinsipnya kita sulit ya untuk memastikan. Yang pasti dari hasil pemeriksaan kontak yang artinya Pemeriksaan kontak itu siapa pasangan seksnya," kata Nadia.

Nadia menjelaskan, pihaknya berusaha menekan kasus positif yang saat ini masih terpusat di komunitas atau populasi rentan. Upaya itu dilakukan agar tidak terjadi lonjakan kasus atau outbreak cacar monyet di kalangan ODHIV.

"Nah ini kemudian jangan sampai terjadi outbreak pada populasi umum dikarenakan jalur penularan transmisi seperti itu," ucapnya.

Nadia Tarmizi mengatakan penyebaran cacar monyet atau monkeypox di Indonesia saat ini tidak terkait dengan kejadian yang ditemukan pertama kali pada Agustus 2022 lalu. Komite Darurat Cacar Monyet dari Organisasi Kesehatan Internasional (WHO) sempat menyatakan keadaan kedaruratan global mpox karena peningkatan penularan di berbagai negara. Namun pada Mei tahun ini, mereka menyatakan berakhirnya keadaan darurat itu.

"Jadi kita lihat ya mpox ini sebenarnya bukan suatu hal yang perlu kita takutkan seperti kemungkinan situasi COVID-19. Karena satu penularannya itu spesifik, yaitu kontak langsung dan apalagi kalau seperti ini kan kontak langsung seksual begitu," paparnya.

Researcher and Advocacy Officer di Inti Muda Indonesia Vincentius Azvian mengatakan pendekatan dan edukasi ke masyarakat terkait mpox harus lebih bersifat umum. Artinya, tidak boleh hanya dikaitkan terus menerus dengan para ODHIV atau dengan orientasi seksual tertentu tanpa penjelasan menyeluruh. Dikhawatirkan upaya mengaitkan secara terus menerus dapat berujung stigma atau diskriminasi baru bagi para ODHIV. Padahal para ODHIV rentan terkena murni karena daya tahan tubuhnya yang menurun.

"Kalau misalnya kita lihat dengan situasi HIV jaman dulu, ketika yang dibilang karena HIV hanya orang gay, ternyata sampai sekarang bertahun-tahun data HIV paling tinggi itu di ibu rumah tangga. Jadi karena masyarakat umum merasa mereka nggak rentan, akhirnya mereka kena gara-gara merasa gak rentan, kasihan kan jadinya," kata Azvian 

Mpox sejauh ini memang terjadi terhadap kelompok dengan perilaku seksual berisiko. Namun, tak menutup kemungkinan setiap orang dengan orientasi seksual apa pun bisa terjangkit juga. Maka dari itu, perlu kesadaran bersama untuk mencegah meluaskan penularan dan tak menstigma kelompok rentan.(red.al)

Posting Komentar

0 Komentar