Surabaya, tjahayatimoer.net - PT Pratama Jatim Lestari (PJL), anak perusahaan BUMD-Jatim Grha Utama (JGU) yang bergerak di bidang pengolahan limbah B3 akan segera diresmikan oleh Gubernur Jatim Khofifah Indar Parawansa.
Perusahaan yang dipimpin oleh Haries Purwoko tersebut digadang-gadang menjadi industri pengolahan limbah B3 terbesar di wilayah Indonesia bagian Timur yang mampu membantu pemerintah untuk menyukseskan program Net Zero Waste di tahun 2030.
Tahap awal, industri yang berada di daerah Dawar Blandong Mojokerto tersebut telah mulai beroperasi sejak Agustus 2023 dengan kapasitas maksimal sebesar 12 ton per hari. Dan, akan diperbesar lagi di tahun 2024/2025 hingga 48 ton per hari.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Provinsi Jawa Timur, Jempin Marbun mengungkapkan, PJL adalah salah satu terobosan Pemprov Jatim yang cukup strategis, karena sejauh ini pengolahan dan penimbunan limbah B3 hanya ada di Cileungsi-Bogor, Jawa Barat.
“Sosialisasi ini dilakukan karena sudah ada pengolahan limbah B3 di Jatim milik Pemprov Jatim. Satu terobosan baru, karena selama ini pengolahan limbah B3 hanya ada di Cileungsi. Dengan adanya PJL, menjadi sangat potensial karena pengolahan limbah B3 di Jatim dan Indonesia Timur akan masuk ke PJL. Pastinya biaya akan lebih murah, karena lebih dekat,” kata Jempin Marbun saat ‘Kick off Pengolahan Limbah B3 Menuju Jatim Net Zero Waste’ di Hotel Mercure Mirama Surabaya.
Menurut dia, ada sejumlah kemanfaatan yang akan diperoleh dengan keberadaan PJL ini. Pertama pengolahan limbah B3 di Jatim akan lebih murah, karena jarak tempuh lebih dekat. Selain itu, juga akan bermanfaat bagi masyarakat, karena akan memunculkan lini bisnis baru serta menjadi sumber PAD Jatim. Dan, yang tidak kalah pentingnya akan membantu Pemprov Jatim menuju Jatim Net Zero Waste, membersihkan lingkungan dari limbah B3 yang berbahaya.
Ia menegaskan, sebenarnya dalam aturan yang ada, seluruh industri yang menghasilkan limbah B3 harus memindahkan dan mengolah limbah tersebut. Tetapi sering dijumpai oknum yang ternyata hanya memindahkan limbah tanpa melakukan pengolahan, padahal itu sangat berbahaya.
“Tetapi tidak semua limbah yang dikumpulkan itu sampai di sana, ada yang dibuang di tempat lain karena biaya besar. Harapan dengan adanya PJL, semua akan taat dan tidak ada alasan jauh atau biaya yang tinggi,” ungkap Jempin.
Wakil Ketua Komisi D DPRD Jatim, Muhammad Ashari menambahkan, pihaknya sudah beberapa kali mengunjungi tempat pengolahan limbah di Mojokerto ini. Dari pantauan yang dilakukan, seluruh alur telah sesuai aturan yang berlaku.
“Sudah beberapa kali melakukan pemantauan di Dawarblandong dan ini menjadi sejarah bagi Jatim, karena di Cileungsi pasti ditutup. Sehingga, PJL ini akan menjadi primadona pengolahan yang cukup strategis. Untuk wilayah Timur akan masuk ke Jawa Timur, seperti Bali, NTB, NTT hingga Papua. Ini akan menjadi lahan baru untuk meningkatkan PAD Jatim yang akan datang,” ujarnya.
Ia memberikan masukan terkait ketersediaan air bersih di sana, saat ini masih cukup. Untuk satu fasilitas pengolahan membutuhkan 10 liter per detik. Tetapi untuk pengembangan selanjutnya harus dicarikan sumber air bersih yang cukup besar. Untuk itu, ia menyarankan agar mengambil air dari PDAB Mantup bekerja sama dengan PDAM Mojokerto yang akan disalurkan mulai 2024.
‘Tetapi secara keseluruhan, fasilitas pengolahan limbah B3 dan alur yang dilakukan sudah sesuai aturan. Dan, kami dari Komisi D DPRD Jatim meminta Gubernur Jatim untuk segera meresmikan Pengolahan Limbah B3 Dawar Blandong untuk memudahkan industri,” tandasnya.
Pada kesempatan yang sama, Wakil Direktur Umum dan Keuangan RS Syaiful Anwar Malang Henggar Sulistiarto mengatakan, keberadaan PJL memang sangat ditunggu oleh Rumah Sakit. Karena Rumah Sakit menghasilkan limbah B3 yang cukup besar. Di RS Saiful Anwar misalnya, Limbah B3 yang dihasilkan mencapai 1,2 ton per hari.
“Kami sebenarnya mempunyai dua Incenerator, tetapi saat ini perlu banyak perbaikan. Dengan adanya pengolahan limbah di Dawar Blandong, tentunya ini sudah kami tunggu-tunggu. Karena rumah sakit kami ini di tengah kota dan yang tidak dapat dihindari saat melakukan pengolahan adalah asap,” ujarnya.
“Jika Dawar Blandong mampu menerima seluruh limbah B3 di seluruh rumah sakit yang ada di Malang Raya, tentunya kenapa tidak, rasanya akan menjadi lebih baik. Terlebih dengan memperhatikan persoalan polusi. Kita siap, seluruh limbah kita akan diolah di sana,” katanya.
Direktur Utama PT Pratama Jatim Lestari (PJL), Haries Purwoko yang juga Wakil Ketua Umum KADIN Jawa Timur mengatakan, saat ini PJL sudah dalam proses uji coba dengan melakukan pengolahan limbah medis. Ada sekitar 8 ton per hari limbah medis yang sudah masuk dan diolah di sana.
“Kapasitas pengolahan ini akan terus kami maksimalkan dan kami perbesar seiring dengan penambahan limbah B3 yang akan masuk. Tetapi di tahap awal ini masih limbah medis. Target kami, tahun depan ketika seluruh fasilitas pengolahan limbah B3 sudah terbangun, maka seluruh jenis limbah B3 medis dan industri bisa diolah di PJL,” terang Haries.
Terkait investasi, pembangunan pengolahan limbah B3 di lahan 50 hektare diperkirakan bakal menyerap investasi sekitar Rp 1,6 triliun. “Untuk saat ini, pembangunan dilakukan di lahan seluas 5 hektare dengan investasi yang terserap sekitar Rp 200 miliar,” tukasnya.
Adapun potensi pasar Limbah B3 medis, Haries mengatakan cukup besar. Untuk Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD), ada sekitar 3 unit RSUD tipe A di Jatim dengan volume limbah B3 yang dihasilkan cukup besar. Juga ada 60 unit RSUD tipe B dan ratusan unit RS tipe C.
“Dan, nantinya arahan dari gubernur bahwa seluruh rumah sakit daerah akan memasukkan limbahnya ke PJL. Ini belun rumah sakit swasta lainnya yang jumlahnya cukup banyak,” kata Haries.
Selain itu, PJL juga sudah bekerja sama dengan 10 transporter yang ada di sejumlah wilayah Indonesia Timur dan akan bertambah lagi menjadi 17 transporter dalam waktu dekat.
Sementara itu, Direktur Pengelolaan LB3 dan Non B3 Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI Achmad Gunawan Widjaksono juga menyatakan pentingnya keberadaan PJL, khususnya untuk pengolahan limbah medis. Ini karena limbah medis memerlukan perlakuan berbeda.
“Beda dengan limbah oli, limbah medis ini maksimal penyimpanan hanya dua hari, selebihnya rumah sakit harus segera mengirimkan ke pengolahan. Ini nyaris di seluruh dunia sama, kecuali kalau ruangan penyimpanan suhunya diturunkan di bawah 0 derajat,” kata Gunawan.
Oleh karena itu, keberadaan PJL ini bisa membantu permasalahan industri dalam pengolahan limbah, utamanya jarak. “Karena ada prinsip, limbah itu sebaiknya diolah sedekat mungkin dengan sumber. Jadi dari Jatim tidak perlu ke luar Jatim, kalau bisa diselesaikan di sini,” tukasnya.
Selain bisa menjadi solusi persoalan limbah, juga akan menambah sirkulasi ekonomi dari pengolahan limbah karena akan dikembangkan produk turunan dengan memanfaatkan hasil akhir proses pengolahan limbah. “Limbah itu dilihat sebagai sumber daya sehingga PJL membantu ikut wujudkan Net Zero Waste,” pungkasnya. (red.NR)
0 Komentar