Ini Cerita Lengkap Soal Sengketa Hotel Sultan Pontjo Sutowo

 

Jakarta, tjahayatimoer.net -   Polemik sengketa kepemilikan Hotel Sultan antara pengusaha Pontjo Sutowo dan belum berakhir dan kini memasuki saga baru.

Setelah sebelumnya memberikan peringatan, akhirnya Pusat Pengelolaan Komplek Gelora Bung Karno (PPKGBK) hari ini mendatangi Hotel Sultan untuk memberitahukan ke PT Indobuild Co milik Pontjo Sutowo, bahwa tenggat waktu untuk mengosongkan lahan di Blok 15 kawasan GBK tersebut telah habis pada 29 September 2023.

"Jadi kami minta pihak Indobuildco maupun manajemen Hotel Sultan bisa bekerja sama dan segera mengosongkan lahan di Blok 15 ini," kata Direktur Utama PPKGBK Rakhmadi Afif Kusumo.

Nantinya, apabila sudah dikosongkan pemerintah sudah menyiapkan rencana induk pengembangan kawasan GBK menjadi kawasan terintegrasi dan modern, berstandar internasional, serta bermanfaat dari sisi lingkungan, sosial, ekonomi, dan budaya.

"Area Blok 15 di mana terletak eks HGB Nomor 26/Gelora dan 27/Gelora yang dipegang oleh Indobuildco dengan beberapa bangunan dan gedung di sana, termasuk Hotel Sultan, menjadi kesatuan dari rencana induk pengembangan kawasan GBK," ucapnya.

Kedatangan PPK GBK merupakan tindak lanjut dari penolakan pengosongan Hotel Sultan oleh PT Indobuildco milik Pontjo Sutowo pada awal pekan ini. Sebelumnya, PPK GBK mengultimatum agar pihak Pontjo Sutowo segera mengosongkan kawasan tersebut karena Hak Guna Bangunan (HGB) sudah habis pada Maret-April 2023.

Namun, ketika perintah itu tiba kuasa Hukum PT Indobuildco Yosef Benediktus Badeoda mengatakan kliennya menolak pengosongan Hotel Sultan karena tidak ada dasar putusan pengadilan ataupun penetapan eksekusi pengosongan.

Kisruh ini sejatinya menambah kontroversi Hotel Sultan, dulu Hilton, yang telah berlangsung sejak awal 1970-an. 

Kontroversi Sejak 1970-an

Pendirian Hotel Sultan bermula ketika mantan Gubernur DKI Jakarta, Ali Sadikin, ingin mendirikan hotel sebagai tempat tinggal tuan rumah konferensi pariwisata se-Asia Pasifik yang akan dihadiri sekitar 3.000 orang. Berdasarkan arsip Gatra (2005), ketika itu di Jakarta jumlah hotel berskala internasional masih sedikit. Alhasil, Ali pun mengajukan surat kepada Pertamina ihwal pembangunan hotel untuk menjamu para tamu pada 1971.

Alasan Ali meminta Pertamina membangun hotel disebabkan karena pembangunan tersebut tidak boleh digarap pihak swasta. Selain itu, Ali juga ingin memanfaatkan Pertamina karena perusahaan minyak itu sedang berada di masa kejayaan dan banyak uang.

Perlu diketahui, Pertamina di tahun 1970-an, sedang tertimpa 'durian runtuh' karena harga minyak dunia di pasar global meningkat pesat. Pertamina sebagai perusahaan pengekspor minyak Indonesia jelas mendapat uang melimpah.

Singkat cerita, permintaan Ali itu kemudian disetujui oleh Direktur Utama Pertamina, Ibnu Sutowo (1968-1978). Dan pada 1973 Sutowo membangun hotel tersebut di kawasan Senayan di bawah bendera PT Indobuild Co.

Awalnya Ali dan semua orang lain percaya bahwa PT Indobuild Co milik Pertamina. Namun, saat hotel tersebut telah berdiri pada 1976, Ali baru mengetahui bahwa PT Indobuild Co bukan anak perusahaan Pertamina, melainkan milik swasta.

"Saya baru tahu Indobuild Co itu bukan Pertamina. Iya, saya tertipu," kata Ali Sadikin dalam persidangan, dikutip Detik.com (30/1/2007).

Dari sinilah awal kontroversi hotel yang kini disebut Hotel Sultan itu.

Lahan Negara, Dikelola Swasta

Belakangan diketahui PT Indobuild Co sendiri adalah milik keluarga Ibnu Sutowo, tepatnya dikelola langsung oleh anaknya, Pontjo Sutowo. Dengan kata lain, hotel tersebut bukan menjadi milik negara, tetapi malah dikendalikan keluarga Sutowo.

Seiring berjalannya waktu, pemerintah Orde Baru malah memperbolehkan pihak swasta dalam hal ini PT Indobuild Co mengelola hotel tersebut. Bahkan, perusahaan itu diberi Hak Guna Bangunan selama 30 tahun.

Tentu, keputusan ini membuat permasalahan semakin panas. Namun, ketika itu tidak ada yang berani menggugat hal ini. Maklum, Sutowo dikenal dekat dengan Presiden Soeharto. Seringkali, Sutowo dianggap sebagai "Untouchable man" karena selalu berhasil lolos dari jeratan hukum.

Mengutip Richard Robinson dalam Power and Economy in Suharto's Indonesia (1990), selama menjadi bos Pertamina dia dikenal sebagai raja minyak dan tangan kanan Soeharto. Beberapa proyek besar dimandori Sutowo langsung atas perintah Soeharto. Termasuk juga pendirian hotel untuk konferensi yang berada di kawasan Senayan itu.

Namun, dia juga sarat kontroversi. Selama memimpin Pertamina, keuntungan dari oil boom tidak dimanfaatkan dengan baik. Keuangan dan manajemen Pertamina malah kacau-balau. Tak ada pembukuan dari pendapatan besar Pertamina selama periode itu. Akibat ulah Sutowo, Pertamina terancam bangkrut. Dan dia pun diberhentikan secara hormat oleh Presiden Soeharto.

Meski telah diberhentikan dengan hormat oleh Soeharto, pengaruh keluarga Sutowo di era Orde Baru masih terbilang kuat. Pertempuran pemerintah dengan Indobuildco dimulai setelah Soeharto lengser pada 1998.

HGB yang habis pada 2003 menjadi gong tanda pertempuran. Semua ini dilakukan untuk merebut kembali kepemilikan Hotel Sultan setelah puluhan tahun dikelola swasta yang masih berlangsung hingga sekarang. (red.NR)

Posting Komentar

0 Komentar