Amendemen UUD 1945, Awas Buka Kotak Pandora Politik


Jakarta, tjahayatimoer.net -  Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) kembali mewacanakan amendemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Mereka ingin ada amendemen konstitusi untuk mengatur penundaan pemilu jika terjadi situasi darurat.



Wakil Ketua MPR Arsul Sani mengatakan belum ada aturan rigid soal penundaan pemilu di masa darurat, seperti pandemi. Menurutnya, penundaan pemilu di masa darurat harus menjadi diskursus bersama.



"Kalau kita itu mengacu pada UUD sekarang, katakanlah akibat kedaruratan itu pemilu enggak mungkin dilaksanakan. Nah, kalau kita mengacu pada UUD sekarang ini kan enggak ada aturannya," kata Arsul di kompleks parlemen, Selasa (8/8).



Namun, Arsul menegaskan usulan itu tidak terkait penundaan Pemilu 2024 dan kontestasi akan berjalan sesuai jadwal.


Kemudian, pada Rabu (9/8) siang, para pimpinan MPR bertemu dengan Presiden Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta. Ketua MPR Bambang Soesatyo (Bamsoet) mengakui membahas soal rencana amendemen UUD 1945.


Menurut dia, amendemen UUD 1945 menjadi penting lantaran zaman yang mulai makin berubah. Ia juga menyatakan pembahasan amandemen akan dilakukan setelah Pemilu 2024, agar MPR tak dicurigai mendukung isu penundaan pemilu.


"Untuk sementara kesepakatan adalah kita bahas nanti setelah pemilu," kata Bamsoet.


Pakar Hukum Tata Negara dari Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM) Andi Sandi Antonius Tabusassa Tonralipu berpendapat tidak ada urgensi untuk melakukan amendemen UUD 1945 dalam waktu dekat. Menurutnya, saat ini seluruh infrastruktur hukum berjalan dengan baik.



"Tidak ada urgensi yang begitu mendesak untuk dilakukan perubahan UUD, kenapa? Karena seluruh infrastruktur itu masih berjalan dengan baik," kata Andi saat dihubungi CNNIndonesia.com, Rabu malam.


Ia mengatakan UUD ibarat pondasi rumah. Semakin sering diubah, akan menimbulkan ketidakstabilan.


Ia tidak mengamini adanya kekurangan dari UUD 1945 saat ini. Namun, Andi berpandangan kekurangan-kekurangan itu bisa ditambal dengan peraturan perundang-undangan di bawah UUD.


"Artinya, dinding-dinding yang kita perbaiki, tetapi kerangka tetap itu," katanya.



Andi pun mengingatkan ada sejumlah ketentuan yang diatur dalam Pasal 37 UUD 1945 agar amendemen memenuhi syarat. Amendemen harus diusulkan secara tertulis oleh sekurang-kurangnya sepertiga dari jumlah anggota MPR.



Usulan juga harus dibahas dalam sidang paripurna yang dihadiri sekurang-kurangnya dua pertiga anggota. Kemudian, keputusan mengubah pasal harus mendapat persetujuan sekurang-kurangnya 50 persen plus satu anggota dari seluruh anggota MPR.



"Jadi kalau ada ide seperti itu silakan, tetapi prosedur yang sudah ditentukan dalam UUD dan juga peraturan perundang-undangan, termasuk tata tertib MPR itu harus dipegang, dipatuhi," katanya.



Ia mengatakan MPR mesti terbuka soal bagian mana yang akan diubah lewat amendemen UUD 1945. Menurutnya, kemungkinan amendemen UUD merembet ke hal-hal lain bisa saja terjadi, tetapi kecil kemungkinan. Sebab, ada aturan di Pasal 37 tersebut yang mewajibkan MPR menjelaskan alasan mengubah suatu pasal.



"Isunya yang berkembang ini kan akan liar, akan ada substansi-substansi tambahan yang muncul, dari sisi peraturan, menurut saya kemungkinan itu ada, tapi kecil," katanya.


Amandemen UUD sebuah keniscayaan
Pakar Hukum Tata Negara dan Konstitusi Universitas Muslim Indonesia, Fahri Bachmid berpendapat amandemen UUD 1945 merupakan sebuah keniscayaan. Menurutnya, dibutuhkan satu kali amandemen lagi untuk menampung sejumlah hal yang dinilainya mendasar, tetapi belum diatur dalam UUD 1945.


"Pertanyaan kemudian bagian-bagian mana yang sebenarnya menjadi sebuah keadaan yang urgen yang harus diamandemen. Nah, itu pertanyaannya," kata Fahri.


Ia mengatakan perlu kehati-hatian yang tinggi dalam melakukan amendemen UUD. Ia mewanti-wanti jangan sampai materi perubahan menyasar pada isu-isu yang telah selesai, misalnya isu masa jabatan presiden.


"Jangan sampai wacana ini, menjadi kita sengaja membuka kotak pandora, perubahan itu menjadi liar, grasa-grusu, akhirnya menyasar di semua hal yang awalnya tidak pernah kita pikir menjadi sebuah keharusan atau kebutuhan ketatanegaraan, tapi malah menjadi untuk mengakomodir kepentingan kepentingan politik jangka pendek dan pragmatis," katanya.



Istilah kotak pandora meminjam mitologi Yunani, yakni sebuah kotak atau guci memikat yang didalamnya berisi hal-hal misterius yang bisa menyebabkan segala keburukan atau kebaikan. 



Dilanjutkan Fahri bahwa meski setuju dengan amandemen, tetapi ia menyarankan agar amendemen UUD tidak dilakukan MPR periode ini. Ia ingin amendemen dilakukan dengan tingkat legitimasi politik lebih tinggi dan proses perubahan dilakukan dalam keadaan kondusif.



"Biar anggota parlemen yang baru duduk dalam keadaan tenang, kemudian perencanaan amandemen bukan dimaksudkan untuk kepentingan politik praktis jangka pendek, tapi benar-benar dimaksudkan untuk kepentingan bangsa dan negara dalam jangka panjang," ucapnya.  (red.js)


Posting Komentar

0 Komentar