Jakarta, tjahayatimoer.net - Perdebatan tentang transisi energi terus berlanjut. Pada prinsipnya hampir seluruh stakeholder baik di kalangan pemerintah, bisnis, maupun masyarakat sipil memiliki idealisme yang sama untuk mencapai proses transisi energi sebagai komitmen untuk mencapai net zero emission. Upaya ini tentu bukan perkara "tulus" atau "sekadar janji", tetapi merupakan pilihan yang harus dilalui khususnya oleh entitas negara dan bisnis untuk tetap dapat kompetitif di dalam portofolio keuangan global.
Terutama pascapandemi Covid-19, terjadi upaya lebih serius di kalangan lembaga-lembaga investasi global untuk mendorong penyesuaian portofolio bisnis di bidang energi, penggunaan kerangka Environment, Social and Governance (ESG) khususnya dalam ranah penilaian penurunan dampak emisi semakin ditekankan. Tentunya, transisi energi memiliki karakteristik yang unik bagi setiap negara sesuai dengan karakteristik wilayah, basis ekonomi, dan potensi sumber daya potensial yang tersedia.
China memilih upaya serius untuk mengembangkan basis-basis energi terbarukan, terutama penggunaan energi surya (solar PV) serta pembangunan PLTA sekala besar untuk menopang proses transisi energinya. Alasannya jelas, China sebagai negara dengan populasi terbesar di dunia yang memiliki basis industri terbesar di dunia saat ini, tidak dapat terus mengandalkan sumber energi fosil yang mayoritas bersumber dari impor sehingga pemakaian EBT dianggap sebagai upaya untuk menekan peningkatan laju impor energi fosil.
Rencana tersebut berhasil menekan laju peningkatan permintaan energi fosil dalam satu dekade ini, yang sebelumnya terus melonjak hingga melampaui 10%. Kini meski tetap meningkat, namun lajunya bertahan di kisaran 5-7%. Bagi negara-negara Eropa, khususnya di kawasan belahan utara yang memiliki siklus pergantian empat musim, serta mengalami fluktuasi suhu, penerapan wind turbine dapat terus diandalkan, mengingat fluktuasi suhu permukaan akan cenderung dibarengi dengan embusan angin yang cukup kencang dan berpotensi untuk dipanen dengan mengandalkan kincir yang menggerakkan turbin.
Inovasi terbaru juga sedang diupayakan di mana pemanen angin dicoba untuk dikembangkan di wilayah laut, atau offshore wind turbine. Meski potensinya lebih baik dan dapat dipastikan beroperasi sepanjang tahun, namun sistem ini tentunya mengandung beberapa risiko, di antaranya potensi korosif yang tinggi sehingga durabilitas komponen lebih rendah dan meningkatkan biaya perawatan serta perlunya investasi besar untuk menyiapkan transmisi bawah laut.
Kesiapan Teknologi
Sampai saat ini perpaduan antara wind turbine dan solar PV masih menjadi primadona utama dalam upaya-upaya menuju transisi energi, sedangkan teknologi berbasis sea wave meski mulai tumbuh namun belum masih belum tumbuh secara masif.
Kelebihan keduanya memang tidak melulu dilakukan oleh investor dan pelaku bisnis skala besar, tetapi juga bisa dilakukan dalam skala mikro dengan memodifikasi atap rumah, ataupun diterapkan dalam skala komunal misalnya melalui koperasi energi di satu kawasan tertentu. Biaya instalasi dan juga distribusinya juga relatif kompetitif jika dibandingkan dengan sumber energi konvensional yang harus melalui proses sangat panjang dari pembangkit hingga ke konsumen.
Persoalan mendasarnya, sumber keduanya sangat bergantung pada kondisi alam yang rentan melahirkan jeda atau biasa disebut intermitensi yang membuat diskontinuitas dalam memproduksi listrik. Padahal dalam masyarakat modern yang terbiasa bergantung dengan listrik siklus pemakaiannya relatif konstan dan cenderung meningkat.
Upaya mencadangkan energi listrik dengan menggunakan fasilitas power storage (baterai) masih relatif berbiaya tinggi sehingga jarang digunakan dalam skala komunal. Fasilitas ini lebih banyak dipakai dalam skala mikro atau rumahan saja. Di Indonesia sendiri gagasan penggunaan listrik yang berbasis swadaya dan komunal masih belum bisa tercipta. Regulasi ketenagalistrikan di Indonesia memandatkan sistem bundelling sehingga penjualan sumber energi listrik dimonopoli oleh PLN.
ADVERTISEMENT
Dengan sistem ini tidak bisa hasil produksi dari EBT serta merta dijual ke tetangga, sehingga akan menghalangi skala penggunaan EBT berbasis komunal. PLN memberikan izin pemanfaatan EBT berbasis off grid baik di wilayah yang belum ada jaringan PLN ataupun di jaringan yang sudah tersambung tetapi sumber daya dipisahkan dari sumber listrik PLN. Skema on grid yang sebelumnya dibarengi dengan insentif impor kelebihan listrik dihapuskan dan proses pemasangannya relatif dibatasi baik dari sisi daya ataupun besarannya dalam satu wilayah dengan alasan untuk mengantisipasi gangguan terhadap beban jaringan.
Saatnya Berpikir Jauh ke Depan
Pola transisi energi yang dibayangkan oleh PLN lebih menekankan pada upaya memperbesar kapasitas pembangkit EBT ketimbang memberdayakan pelanggan untuk terlibat dalam proses pemanfaatan sumber-sumber EBT. Situasi inilah yang sering menjadi perdebatan.
Kalangan masyarakat sipil melihat situasi tersebut cenderung memperlambat proses transisi, ditambah kritik terhadap upaya PLN yang masih belum serius merencanakan upaya pensiun dini terhadap PLTU Batu Bara, sebaliknya justru menambah kapasitas PLTU terutama dengan pemanfaatan potensi PLTU Mulut Tambang seperti yang didorong di wilayah Sumatera dan Kalimantan.
Dalam RUPTL 2021-2030, PLN juga tidak serta merta mengikis jumlah PLTU sebaliknya justru mendorong adanya proses co-firing yang masif terutama dengan pemanfaatan biomassa, baik dari sumber kayu-kayu hasil hutan, sampah, hingga bahan-bahan sisa perkebunan dan pertanian. PLTU diprediksi dapat menyerap biomassa hingga 5-10% dan bila dilakukan pengembangan teknologi diharapkan dapat berkontribusi hingga 20%. Permasalahannya, secara teknis belum ada sistem niaga biomassa yang cukup efektif di Indonesia.
Sampai saat ini biomassa dalam skala masif dan tersedia hanya ada cangkang sawit, adapun untuk kayu-kayu, sampah, hingga kulit gabah masih relatif tidak terkonsentrasi secara masif. Alhasil sekadar uji coba kalori saja yang baru berjalan, belum ada kontinuitas, meskipun melalui anak perusahaannya, PLN Energi Primer Indonesia, berusaha keras untuk membangun rantai suplai biomassa mulai dari kerja sama pengelolaan sampah dengan pemda seperti yang dilakukan di Cilegon hingga upaya-upaya membangun kebun energi yang memberdayakan potensi perhutanan sosial yang tersebar di banyak wilayah.
Bagi Indonesia yang berbasiskan kepulauan, transisi energi justru menjadi peluang potensial; wilayah-wilayah kepulauan kecil yang selama ini sangat bergantung dengan suplai pasokan bahan bakar dari luar bisa mulai mengembangkan potensi internalnya, terutama dengan pemanfaatan solar PV dan wind turbine. Di wilayah-wilayah kepulauan potensi keduanya sangat melimpah. Sedangkan, di kawasan-kawasan perkotaan penggunaan keduanya akan sangat membantu dalam mengurangi beban biaya listrik bagi sektor bisnis maupun rumah tangga.
Kekhawatiran PLN tentang over supply khususnya di grid Jawa-Bali bukan menjadi alasan untuk menahan laju penerapan EBT mandiri bagi konsumennya, mengingat sumber-sumber energi listrik masif yang diproduksi PLN sangat potensial untuk dialihkan ke berbagai sektor industri. Misalnya, untuk mendorong produksi hidrogen yang berbasis elektrolisis air serta mendorong pengembangan proyek-proyek smelting yang membutuhkan suplai energi listrik skala masif.
Agenda ini akan juga berdampak serius pada upaya Indonesia untuk keluar dari beban impor BBM yang telah mencapai 700 ribu bpd serta mampu mengoptimalkan substitusi impor komoditas logam, khususnya besi dan aluminium. Dalam hal produksi hidrogen PLN dapat berkolaborasi dengan Pertamina dan industri-industri migas lainnya yang memiliki kapasitas dalam mendorong distribusi hidrogen secara masif.
Nantinya, hidrogen juga dapat dijadikan pengganti BBM di banyak sektor tidak hanya untuk transportasi ringan seperti halnya mobil dan motor, melainkan juga berpeluang untuk transportasi skala berat dan masal seperti truk, kereta api, kapal, hingga pesawat. Kemampuan hidrogen berbasis fuelcell akan terus berkembang seiring komitmen industri otomotif yang berkolaborasi dengan sektor migas untuk menciptakannya. Sedangkan dalam industri smelting diharapkan dapat mendukung agenda hilirisasi hasil tambang yang saat ini lebih terkonsentrasi di Indonesia Timur, dapat juga secara proporsional didekatkan dengan sumber energi yang telah tersedia.
Kompromi Pembiayaan
Persoalan mendasarnya, dari mana pembiayaan transisi energi ini bisa didapatkan? Indonesia dikalkulasi membutuhkan Rp 3500 triliun untuk membiayai proses transisi energi secara keseluruhan, oleh karenanya pemerintah bekerja keras meyakinkan investor serta negara-negara maju untuk turut terlibat dalam pembiayaan tersebut. Salah satunya dengan menagih Just Energy Transition Partnership (JETP) yang pada gelaran G20 di Bali dijanjikan oleh negara-negara G7 sebesar 20 miliar USD, meski hingga kini tak kunjung jelas arahnya, apakah dalam bentuk hibah atau malah utang komersial.
Di sisi lain, Indonesia memiliki potensi sumber daya ekstraktif yang cukup besar, misalnya batu bara yang produksinya mencapai 600 juta ton. Jika menggunakan asumsi rata-rata harga 200 USD per ton, maka batu bara menyumbangkan nilai ekonomis 120 miliar USD. Tentunya uang tersebut bukan ada di tangan pemerintah karena pemerintah hanya menerima pajak dan royalti saja, di samping adanya kewajiban DMO yang dibatasi 90 USD per ton dengan kapasitas sekitar 30% produksi, atau kira-kira 180 juta ton yang digunakan untuk menopang PLTU dan industri domestik lainnya.
Dengan melihat kalkulasi tersebut, pemerintah sebenarnya punya opsi untuk menekankan kewajiban reinvestasi di sektor energi terbarukan selain investasi hilirisasi batu bara untuk dikonversi menjadi gas DME. Keduanya akan memungkinkan akselerasi transisi energi yang berasal dari sumber-sumber pembiayaan domestik, alokasi dana hasil ekspor. Opsi ini tentu akan banyak ditentang kalangan masyarakat sipil yang sejak awal menempatkan diri untuk menolak batu bara.
Di sisi lain, Indonesia belum mempunyai opsi komoditas alternatif yang setara, di mana batu bara bukan hanya menyumbang nilai besar terhadap PDB tetapi juga menjadi salah satu faktor penyumbang devisa yang mampu menjaga stabilitas moneter. Tentu disadari dalam proses transisi energi baik solar PV ataupun wind turbine mayoritas komponen juga masih harus impor, sehingga proses transisi yang masif juga akan berkontribusi pada neraca pembayaran internasional yang akan semakin defisit sehingga secara moneter keberadaan komoditas pendulang devisa tak dapat serta merta disingkirkan.
Di sinilah pentingnya, pemerintahan Presiden Jokowi yang masa jabatannya akan berakhir pada Oktober 2024 nanti perlu menyiapkan fondasi yang kuat dan bijaksana dalam mengoptimalkan potensi untuk pembiayaan transisi energi, agar estafet pemerintahan ke depan akan dapat konsisten melanjutkan jejak transisi tersebut.
0 Komentar