PBB Bersama ASEAN Berkolaborasi Ahiri Kekerasan di Myanmar.

  


 Jakarta,  tjahayatimoer.net - Militer Myanmar semakin sering melakukan serangan udara dengan hasil yang mematikan untuk mencoba menghancurkan perlawanan bersenjata, dua tahun setelah merebut kekuasaan, kata kelompok pemantau hak asasi manusia Myanmar Witness dalam sebuah laporan hari Selasa (31/1). 460 warga sipil, kebanyakan anak-anak, telah kehilangan nyawa mereka dalam serangan udara. Selanjutnya Myanmar Witness mengatakan, militer sangat bergantung pada jet tempur dan helikopter tempur yang dipasok oleh sekutunya Rusia dan Cina.

Militer "menempatkan penduduk Myanmar dalam posisi genting, menghancurkan rumah, sekolah, dan tempat ibadah – situs yang seharusnya aman bagi warga sipil," kata laporan itu.

Menurut kelompok perlawanan "Pemerintah Persatuan Nasional", yang menyebut dirinya pemerintahan sah Myanmar dan berfungsi sebagai organisasi payung bagi penentang kekuasaan militer.

Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres pada hari Senin (30/1) menyuarakan dukungan untuk aspirasi demokrasi rakyat Myanmar dan memperingatkan bahwa pemilu yang direncanakan rezim militer di tengah tindakan keras terhadap warga sipil "berisiko memperburuk ketidakstabilan."

Juru bicara PBB Stephane Dujarric mengatakan, sekretaris jenderal mengecam keras semua bentuk kekerasan di Myanmar. Dia mengatakan krisis di negara itu bisa memburuk "dan memicu implikasi regional yang serius."

Dewan Keamanan PBB pada Desember 2021 menuntut segera diakhirinya kekerasan dan mendesak penguasa militer Myanmar membebaskan semua tahanan yang "ditahan secara sewenang-wenang", termasuk Aung San Suu Kyi, dan memulihkan institusi demokrasi. Sekretaris Jenderal PBB menganggap resolusi itu "langkah penting dan menggarisbawahi urgensi untuk memperkuat persatuan internasional," kata Stephane Dujarric.

Militer merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021 dari pemerintahan terpilih pimpinan Aung San Suu Kyi, menangkapnya dan anggota tertinggi partai Liga Nasional untuk Demokrasi yang memerintah. Partai itu sebelumnya meraih kemenangan telak dalam pemilihan umum November 2020.

Setelah melancarkan kudeta, pasukan keamanan menekan secara brutal aksi protes terhadap pengambilalihan militer, membunuh hampir 2.900 warga sipil dan menangkap ribuan orang lainnya yang terlibat dalam protes tanpa kekerasan.

Militer sekarang memberlakukan undang-undang baru tentang pendaftaran partai politik, yang mempersulit kelompok oposisi untuk mengajukan calon sendiri menghadapi kandidat yang didukung tentara dalam pemilihan umum yang dijadwalkan akhir tahun ini.

Sekjen PBB Antonio Guterres "prihatin dengan niat militer menyelenggarakan pemilu di tengah gencarnya pengeboman udara dan pembakaran rumah warga sipil, bersamaan dengan penangkapan, intimidasi, dan pelecehan terhadap pemimpin politik, aktor masyarakat sipil, dan jurnalis," kata seorang juru bicara Dewan Keamanan PBB.

Selanjutnya PBB mengatakan, Utusan Khusus untuk Myanmar, Noeleen Heyzer, akan berkoordinasi erat dengan ASEAN untuk menanggapi seruan Dewan Keamanan agar " terlibat secara intensif dengan semua pihak terkait di Myanmar untuk mengakhiri kekerasan dan mendukung kembalinya demokrasi." Sejak 1 Januari 2023, Indonesia mengambil alih kepemimpinan ASEAN dari Kamboja.(red.Df)

Posting Komentar

0 Komentar