Pakar Hukum Dr. Imron Rosyadi Mendorong Kasus Siswi TK Diperkosa Anak SD Disekesaikan Melalui RestorativeJustice

    


Mojokerto,  tjahayatimoer.net - Praktisi dan Akademisi Hukum Pidana Dr Imron Rosyadi mendorong kasus siswi TK di Kecamatan Dlanggu, Kabupaten Mojokerto yang diduga diperkosa 3 anak laki-laki, diselesaikan dengan restorative justice (RJ). Karena ketiga terduga pelaku yang baru berusia 6 dan 7 tahun dinilai belum mampu bertanggungjawab.
"Terkait dengan peradilan anak, jika mereka masih berumur 12 tahun ke bawah, pelaku pidana anak cukup diberi pembinaan saja. Jika umurnya 12 tahun sampai dengan 18 tahun harus di proses dengan peradilan Anak UU nomor 23 tahun 2002 junto UU nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak," kata Imron kepada wartawan, Jumat (27/1/2023).

Seperti diketahui, terduga pelaku pemerkosaan terhadap siswi TK tersebut berusia di bawah 12 tahun. Yaitu 2 terduga pelaku berusia 7 tahun dan 1 terduga pelaku berusia 6 tahun. Ketiganya tinggal satu kampung dengan korban di Kecamatan Dlanggu.

Dosen Hukum Pidana di UIN Sunan Ampel Surabaya ini menjelaskan substansi hukum pidana meliputi perbuatan pidana, pertanggungjawaban pidana, serta sanksi pidana dan pemidanaan. Dalam aspek pertanggungjawaban pidana, ketiga anak laki-laki itu tergolong belum mampu mempertanggungjawabkan perbuatan mereka.

Selain itu, kata Imron, negara juga harus melindungi psikologi ketiga terduga pelaku karena masa depan mereka masih panjang. Oleh sebab itu, proses hukum terhadap 3 anak berhadapan dengan hukum tersebut tidak boleh disamakan dengan pelaku pidana yang sudah dewasa.

"Di dalam hukum kita, anak-anak dianggap belum mampu bertanggungjawab. Sehingga dari mulai penyelidikan, penyidikan sampai proses apapun tidak boleh disamakan dengan orang dewasa. Cukup restorative justice untuk dikembalikan seperti semula, mereka harus dididik. Cukup diproses di kepolisian dengan tembusan ke kejaksaan," jelasnya.

Imron menegaskan, penyelesaian kasus melalui RJ bukan berarti ketiga anak tersebut bisa lepaskan begitu saja dari proses hukum. Ia mendorong polisi di Unit Pelayanan Perempuan dan Anak (PPA) melakukan diversi, yakni menyelesaikan perkara anak di luar peradilan pidana.

Artinya, polisi harus mengupayakan perdamaian antara pihak pelaku dengan korban. Tentunya dengan didampingi pihak keluarga, pembimbing dan Balai Pemasyarakatan (Bapas). Bisa juga didampingi polisi, jaksa atau hakim.

"Sehingga kasus anak dapat dilakukan dengan proses diversi demi kepentingan terbaik bagi anak yang berkonflik dengan hukum serta pertimbangan keadilan bagi korban. Pemerintah sepakat dengan adanya penyelesaian dimaksud sebagai implementasi dari RJ," terangnya.

Apabila diversi tidak berhasil sehingga kasus perkosaan siswi TK ini berlanjut ke pengadilan, lanjut Imron, maka majelis hakim bisa mengupayakan vonis dengan pendekatan restorative. Sebagaimana diatur dalam Pasal 71 sampai Pasal 82 UU RI Nomor 11 tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak dan SK Dirjen Badan Peradilan Umum Mahkamah Agung (MA) nomor 1691 tahun 2020 tentang Pedoman Penerapan Restorative Justice.

"Maka anak yang melakukan perbuatan pidana jika para pelaku masih di bawah umur 12 tahun, proses peradilan bisa menerapkan sebagaimana prosedur tersebut," tegasnya.

Pria yang juga menjabat Wakil Ketua 1 STIT Raden Wijaya Mojokerto dan Dosen di Universitas Mayjen Sungkono Mojokerto ini menambahkan ketiga anak tersebut juga tidak boleh dilepas begitu saja meski sudah melalui RJ. Mereka harus dititipkan ke fasilitas pembinaan anak sampai ketiganya menjadi anak-anak yang baik.

"Tidak serta-merta langsung dikembalikan ke orang tua, tapi ada semacam pendidikan bagi anak di tempat penitipan anak yang kena kasus pidana. Orang tua sebagai penjamin. Informasinya di Mojokerto sudah ada, seperti pondok pesantren yang kerja sama dengan Bapas," tandasnya.

Siswi TK di Kecamatan Dlanggu diduga diperkosa 3 anak laki-laki di sebuah rumah kosong tidak jauh dari tempat tinggalnya, Sabtu (7/1/2023) siang. Ironisnya, ketiga terduga pelaku baru berusia 7 tahun dan 6 tahun. Salah seorang terduga pelaku bahkan sudah 5 kali melakukan perbuatan serupa kepada korban.

Kasus ini terungkap setelah nenek dan ibu korban mendapat cerita dari pengasuh salah seorang saksi pada Minggu (8/1/2023). Tak terima putrinya yang baru berusia 6 tahun diduga diperkosa, ibu korban pun melabrak keluarga para pelaku.

Orang tua korban lantas melaporkan dugaan perkosaan siswi TK besar ini ke Polres Mojokerto pada Selasa (10/1/2023). Korban sudah 2 kali menjalani asesmen oleh psikolog P2TP2A Kabupaten Mojokerto. Sedangkan 2 kali mediasi di tingkat desa pada 9 dan 16 Januari lalu tak mencapai titik temu.

Informasi yang digali wartawan, korban maupun 3 terduga pelaku sudah diasesmen oleh psikolog P2TP2A Kabupaten Mojokerto. Ketiga anak laki-laki itu juga sudah menjalani pemeriksaan di Unit PPA Satreskrim Polres Mojokerto.(red.Df)

Posting Komentar

0 Komentar