Jakarta, tjahayatimoer.net - Perjuangan Amalia Rezeki lebih dari 10 tahun dalam penyelamatan bekantan, primata endemik Kalimantan, kembali menorehkan tinta emas. Amel, sapaan akrab pendiri Yayasan Sahabat Bekantan Indonesia (SBI), berhasil meraih gelar doktor di bidang konservasi bekantan di Universitas Lambung Mangkurat (ULM).
Amel mengikuti ujian akhir studi S3 Pascasarjana ULM dan dinyatakan lulus dengan sangat memuaskan dengan disertasi berjudul “Strategi Pengelolaan Habitat Bekantan di Luar Kawasan Konservasi dalam Upaya Konservasi Bekantan (Nasalis larvatus). (Studi Kasus Pengelolaan Habitat Bekantan di Kawasan Stasiun Riset Bekantan Pulau Curiak, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan).
Adapun promotornya Gusti Muhammad Hatta, Yudi Firmanul Arifin, dan Rizmi Yunita. Usai dinyatakan lulus, Amel dinobatkan sebagai wanita pertama di dunia bergelar doktor konservasi bekantan.
"Alhamdulillah, gelar doktor ini saya persembahkan untuk semua orang yang peduli terhadap pelestarian bekantan dan habitatnya," katanya dilansir dari Antara pada Kamis, 19 Januari 2023.
Dedikasikan Diri untuk Penyelamatan Bekantan
Sejak 2016, dosen Pendidikan Biologi FKIP ULM ini mendedikasikan hidupnya untuk upaya penyelamatan bekantan yang berstatus terancam punah Endangered oleh organisasi perlindungan lingkungan terbesar di dunia yaitu International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan termasuk satwa dilindungi Pemerintah RI.
Berawal ketika menemukan Pulau Curiak yang dihuni sekitar 14 individu bekantan hingga Amel tertarik untuk melakukan penelitian di pulau kecil yang waktu itu hanya seluas 2,7 hektare. Penelitian pertamanya tentang struktur populasi bekantan yang dia lakukan bersama tim riset SBI.
Amel sadar bahwa bekantan dan habitatnya yang berada dekat dengan area pemukiman, pertanian pasang surut, kawasan industri, serta jalur sungai Barito dan sangat padat itu, kondisinya sangat mengancam keberadaan maskot fauna Kalimantan Selatan tersebut.
Untuk itulah bersama tim SBI dia memutuskan menyelamatkan bekantan dan habitatnya di kawasan Pulau Curiak yang terdesak oleh pembangunan melalui sejumlah langkah konkret.
Langkah pertama dia bergerak untuk menyelamatkan kawasan yang tersisa dengan cara membeli kembali lahan di sekitar pulau tersebut untuk dilakukan restorasi dengan ditanami pohon mangrove rambai yang merupakan vegetasi bakau utama dan pakan utama bekantan.
Meski begitu, program yang dilakukan tidak mudah karena membutuhkan dana besar, sedangkan ia sendiri hanya seorang dosen muda, serta teman-temannya satu tim kebanyakan masih mahasiswa waktu itu.
Akan tetapi dengan niat yang tulus dan bekerja karena hati, Amel dan timnya membuat program wakaf lahan yang diberinya nama "Buy Back Land" untuk membeli kembali lahan yang telah beralih fungsi. Melalui para dermawan yang dengan ikhlas membelikan lahan dan kemudian mewakafkan ke SBI, akhirnya sejengkal demi sejengkal dapat dibebaskan.
Lahan itu kemudian dijadikan kawasan penyangga habitat bekantan. Di lahan tersebut juga dibangun Stasiun Riset Bekantan untuk menunjang penelitiannya lebih lanjut. Untuk menambah daya dukung kawasan habitat bekantan Pulau Curiak, dilakukan restorasi mangrove rambai yang kini luas pulau bertambah menjadi 4,01 hektare dari awalnya hanya 2,7 hektare.
Sempat Cuti karena Kesulitan Membayar Kuliah dan Penelitian
Perjuangan Amel di bidang studi untuk meraih doktor bekantan tak kalah hebatnya dengan perjuangannya dalam menyelamatkan bekantan di kawasan Pulau Curiak yang hutan mangrovenya nyaris lenyap.
Saat itu hanya tersisa 2 hektare lebih dan dihuni bekantan tidak lebih dari 14 individu waktu itu. Dia berpacu dengan waktu demi berjuang menyelamatkan satwa yang telanjur mengisi hatinya.
Kondisi itu sempat membuatnya terdiam, terutama ketika harus menerima kenyataan mengambil cuti satu semester kuliah karena tidak mampu membayar biaya studi dan penelitian.
Sebagai anak tunggal dan yatim, ditinggal sang ayah yang merupakan tulang punggung ekonomi satu-satunya, tentu perjuangan ini tidak mudah. Baginya, penelitian tentang strategi pengelolaan habitat bekantan di luar kawasan konservasi bukan saja karya tulis ilmiah untuk meraih studi doktoralnya, melainkan simbol perjuangan menyelamatkan bekantan itu sendiri beserta habitatnya.
Amel berharap hasil penelitiannya ini menjadi role model dalam mengelola sebuah kawasan, terutama di luar kawasan konservasi, yang mana satwa liar bisa hidup harmonis dengan manusia sehingga upaya konservasi dapat dicapai.
Baginya, air mata boleh habis, tapi sebuah perjuangan pantang berhenti di tengah jalan. Sekali layar terkembang, surut ia berpantang. Menurut Amel, melestarikan bekantan dan studi itu bagian dari ibadah. Dengan segala keterbatasan ia terus bergerak, walau terkadang direndahkan.
0 Komentar