Harapan MK Suhartoyo Terhadap Banyaknya Pernikahan Beda Agama.

   


Jakarta,  tjahayatimoer.net - Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo berharap negara tidak menutup mata atas banyaknya pernikahan beda agama di masyarakat. Oleh sebab itu, Suhartoyo berharap Pemerintah dan DPR merevisi UU Perkawinan guna mengakomodir fernoma pernikahan beda agama.
"Fenomena perkawinan beda agama tersebut di atas seolah-olah terjadi karena 'kurang atensinya' negara yang tidak mengakui dan menganggap "tidak sah secara agama" terhadap perkawinan beda agama, karena legalisasi perkawinan menurut hukum sipil hanyalah berupa pencatatan administrasi," kata Suhartoyo dalam concuring opinion putusan nikah beda agama, Rabu (1/2/2023).

Putusan itu diketok pada Selasa (31/1) kemarin. Permohonan itu diajukan oleh Ramos Petege, ummat Katolik yang tidak menikahi pacarnya yang beragama Islam.

"Oleh karena itu, adanya bentuk ketidakpastian hukum demikian seyogyanya negara hadir untuk menyelesaikan permasalahan terkait, melalui adanya pembangunan atau perubahan UU Perkawinan yang pada saat diterbitkan pada tahun 1974 tentu kondisi sosial dan dinamika kehidupan masyarakat belum sekompleks saat ini," ujar Suhartoyo yang juga hakim konstitusi dari unsur Mahkamah Agung (MA) itu.

Suhartoyo mempertimbangkan agar kiranya pada masa yang akan datang jika akan dilakukan revisi terhadap UU Perkawinan dimaksud, memberikan atensi penyelesaian secara komprehensif, baik terkait dengan jalan keluar atas keabsahan dari hukum agama/kepercayaannya, maupun dalam hal mengakomodir akibat hukum pencatatannya.

"Adapun substansi perubahan dimaksud, tentunya dengan menyesuaikan dinamika sosial dan hal-hal lain terkait yang terjadi dalam kehidupan masyarakat, dengan tentunya menyeimbangkan kebebasan beragama di satu sisi dan mengakomodir fenomena perkawinan beda agama dan tatacara pencatatannya secara bijak pada sisi yang lain," urai Suhartoyo.

Sebab, sejatinya saat ini yang terjadi secara faktual akibat hukum perkawinan beda agama adalah sekadar pengakuan oleh negara secara administrasi saja.

"Oleh karena itu, adanya bentuk ketidakpastian hukum demikian seyogyanya negara hadir untuk menyelesaikan permasalahan terkait, melalui adanya pembangunan atau perubahan UU Perkawinan yang pada saat diterbitkan pada tahun 1974 tentu kondisi sosial dan dinamika kehidupan masyarakat belum sekompleks saat ini," beber Suhartoyo.

Namun Suhartoyo menyadari, kebijakan tersebut adalah kewenangan DPR dan pemerintah. Sebagai hakim konstitusi, Suhartoyo tidak berwenang merumuskan dan menetapkan kebijakan itu. Sehingga Daniel sepakat dengan 8 hakim MK lainnya untuk menolak permohonan Ramos Petege.(red.Df)

Posting Komentar

0 Komentar