Tahun Depan Jatah Pupuk Subsidi Turun 13.562 Ton.

 


KOTA BATU,tjahayatimoer.net (11/12/2022) – Sebelum adanya peraturan ini, ada sekitar 60 sampai 70 komoditi pertanian yang mendapat jatah pupuk bersubsidi. Namun setelah aturan baru ini diterbitkan, pupuk bersubsidi hanya dialokasikan untuk 9 komoditi. Di antaranya padi, jagung, kedelai, bawang merah, bawang putih, cabai, tebu, kopi, dan kakao

Dasarnya yakni Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 10 tahun 2022 tentang tata cara penetapan alokasi dan harga eceran tertinggi pupuk bersubsidi sektor pertanian. Pemerintah beralasan, 9 komoditi itu diutamakan karena memiliki kontribusi besar dalam menekan inflasi.

Juga berkontribusi dalam menjaga ketahanan pangan nasional. Permentan nomor 10 tahun 2022 itu juga mengatur dua jenis pupuk subsidi yang disalurkan ke petani. Yakni Urea dan NPK. Sebelumnya ada enam jenis pupuk subsidi yang disediakan pemerintah pusat.

Menurut Kementan, kedua jenis pupuk itu dipilih untuk efisiensi pemupukan, melihat kondisi lahan pertanian saat ini. Kemudian, jenis pupuk itu juga mengandung unsur hara makro esensial, yang menjadi faktor pembatas untuk peningkatan produksi tanaman. Perbedaan signifikan bakal terjadi pada alokasi pupuk bersubsidi di tahun 2022 dan 2023. 

Hasilnya, di tahun depan jatah pupuk bersubsidi untuk dua daerah itu akan susut 13.562 ton. Di tahun ini, sebelum Permentan nomor 10 tahun 2022 disahkan, alokasi pupuk untuk petani di Kota Batu sebanyak 2.606 ton.

Dengan adanya aturan baru itu, terjadi penurunan drastis menjadi 728 ton. Artinya ada 1.878 ton pupuk bersubsidi yang tidak bisa disalurkan (selengkapnya baca grafis). Perubahan aturan pupuk bersubsidi itu tentu menjadi pukulan telak bagi para petani. Pasalnya, mayoritas petani di Kota Batu bergerak di komoditi sayur, buah-buahan, dan bunga. ”Kami hanya bisa memberikan saran untuk sementara beralih ke pupuk organik,” ujar Sekretaris Dinas Pertanian Kota Batu Harijadi Agung S.

Dia mengakui bila Pemkot Batu tidak dapat berbuat banyak, karena tidak memiliki kekuatan untuk menentang kebijakan. Pihaknya juga tidak bisa melakukan pengadaan pupuk bersubsidi tanpa sepengetahuan Kementerian Pertanian. ”Karena peraturannya tidak boleh pemda mengadakan pupuk sendiri. Harus mengikuti pemerintah pusat,” bebernya. Selain itu, jika anggaran untuk pupuk bersubsidi dibebankan kepada pemerintah daerah, kebutuhannya bakal sangat besar.

Satu karung pupuk bersubsidi sejatinya dibanderol pada harga Rp 400 ribu. Sementara pemerintah pusat biasanya memberi subsidi sebesar Rp 300 ribu. Sehingga petani hanya perlu membelinya senilai sebesar Rp 100 ribu per karung. Dengan dihapuskannya subsidi, harga pupuk bakal naik tiga kali lipat. Jika memang petani ingin mendapatkan pupuk subsidi.

Agung menyarankan agar mereka memanfaatkan lahannya untuk menanam tanaman yang masuk ke dalam 9 komoditas tersebut. Petani bisa mengajukan ke dinas pertanian melalui penyuluh pertanian lapangan (PPL) yang ada di setiap desa. Di tempat lain, Ketua Komisi B DPRD Kota Batu Hari Danah Wahyono mengatakan, masalah kelangkaan pupuk subsidi sejatinya selalu terjadi setiap tahun. Ke depan, untuk menyelesaikan keterlambatan alokasi pupuk, pihaknya meminta Dinas Pertanian dan Ketahanan Pangan (DPKP) Kota Batu memberikan pendampingan kepada petani. ”Terutama pendampingan pada petani agar bisa memproduksi pupuk organik sebagai solusi mengatasi kelangkaan pupuk subsidi,” tutur Hadi.

Petani Pilih Buang Hasil Panen saat Harga Sayur Turun Muji Slamet, petani sayur asal Desa Tulungrejo, Kecamatan Bumiaji menerangkan, persediaan pupuk di pasaran memang banyak.

Namun sebagian besar adalah pupuk non subsidi, dan harganya lebih mahal tiga kali lipat dari pupuk bersubsidi. Jika dulu pupuk subsidi bisa dibeli dengan harga sekitar Rp 100 ribu saja. Kini setelah subsidi dicabut, paling murah harga pupuk berada di kisaran Rp 375 ribu per sak. Saat harga sayur di pasaran rendah, beberapa petani memilih untuk membiarkan begitu saja tanamannya agar terurai menjadi pupuk. Kondisi itu tentu menyebabkan kerugian.

Namun menurut Muji keputusan itu jauh lebih baik, daripada petani harus menambah biaya untuk panen dan pengiriman hasil panen. ”Kadang saya buang hasil panen karena harganya jauh menurun, sementara biaya operasional tambah membengkak,” keluhnya. Jika tak memungkinkan membeli pupuk non subsidi, para petani terpaksa mengganti pupuk kimia ke pupuk kandang.

Mereka memanfaatkan kotoran sapi sebagai pupuk tanaman mereka. Kekurangan pupuk organik itu yakni hasilnya tidak instan, dan pemakaiannya harus dalam jumlah besar. Sebab kandungan unsur hara dalam pupuk organik itu lebih kecil. Tak seperti pupuk kimia yang dinilai cepat dalam menyuburkan tanah dan menumbuhkan tanaman. ”Ya memang ada bagusnya menggunakan pupuk kandang, tanah juga tidak cepat mengeras.

Tapi ya itu, proses penyerapannya lama,” imbuh Muji. Upaya serupa juga disampaikan Tukirin, salah satu petani kangkung di Desa Kademangan, Kecamatan Pagelaran, Kabupaten Malang. Dia memilih untuk menggunakan pupuk organik sebagai pengganti pupuk bersubsidi. ”Mengeluh ya mengeluh. Tapi mau bagaimana lagi?,” kata Tukirin yang sekaligus menjadi Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) di Desa Kademangan itu.

Pupuk organik itu, dikatakan Tukirin, terlebih dahulu harus diolah. ”Cara mengolahnya, pupuk kandang itu dicampur dengan gamping. Kemudian dicampur lagi dengan air kelapa, terus dicampur dengan tetes tebu. Dijadikan satu, lalu ditutup sekitar dua minggu,” kata pria berusia 59 tahun itu. Senada dengan Muji, dia penggunaan pupuk organik sebenarnya bagus untuk tanah. Namun, proses pertumbuhan, panen, dan jumlah buah plus ukuran buah tentu sangat berbeda dengan menggunakan pupuk bersubsidi.

Contohnya pada tanaman kangkung. Jika menggunakan NPK, dia hanya memerlukan waktu 25 hari untuk panen. Sementara jika menggunakan pupuk organik, dia memerlukan waktu lebih lama untuk panen. Yakni 35 hari. ”Panjang kangkung juga lebih kecil,” jelas dia. Alasan itu lah yang membuat banyak petani masih ketergantungan terhadap pupuk kimia. ”Kami kan mengejar pertumbuhan juga. Supaya cepat panen.

Tapi ya kalau mahal begini, kami tentu bingung. Mau tidak mau memakai organik dan dicampur non subsidi,” kata dia. Saat ini, produktivitasnya pun menurun. Dulu, dalam sekali panen, dia bisa mendapat 60 kilogram kangkung. Kini menurun menjadi 50 kilogram saja. ”Akibatnya kami menaikkan harga penjualan. Semula satu kilogram Rp 4 ribu, kini menjadi Rp 6 ribu per kilo,” imbuhnya. Kepala DTPHP Kabupaten Klaim Petani Buah dan Sayur Bisa Survive Total alokasi pupuk bersubsidi di Kabupaten Malang pada 2023 nanti juga dipastikan menurun.

Dari sebelumnya 101.065 ton di tahun ini, bakal turun menjadi 89.381 ton di tahun depan. Bila ditotal, bakal ada penurunan 11.684 ton alokasi pupuk bersubsidi. Meski begitu, Kepala Dinas Tanaman Pangan Hortikultura Perkebunan (DTPHP) Kabupaten Malang Avicenna Medisica Saniputra mengklaim bila petani sayur dan buah tidak mempersoalkan penghapusan pupuk subsidi. ”Dari tinjauan lapangan, petani sayur dan buah tak mempersoalkan pupuk subsidi. Non subsidi pun siap membeli. Tetapi, mereka minta stoknya stabil,” kata Avi.

Menurut Avi, stok pupuk non subsidi dijamin akan terus tersedia. Untuk memastikannya, dia akan menjalin komunikasi dengan penyedia pupuk. Yakni, Pupuk Indonesia Holding Company. Kemudian, komunikasi juga dibangun dengan Kementerian Pertanian, khususnya Dirjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP). ”Yang penting budidaya mereka (petani) tidak terganggu. Selama stok pupuk non subsidi aman, mereka mengaku tak mempersoalkan penghapusan pupuk subsidi,” tandas Avi. Selain permintaan stok pupuk non subsidi stabil, ada request lain dari petani sayur dan buah. Yakni akses pemasaran yang konsisten dan aman.

Menurut Avi, produk sayur dan buah perlu mendapatkan ruang pemasaran yang lebih stabil. Caranya dengan menggandeng pabrik besar yang membutuhkan bahan baku besar. ”Petani minta akses pemasaran. Jangan sampai produk sulit dilempar. Petani sayur dan buah mengaku siap produksi. Tetapi saat panen, mereka mau produknya diserap dengan cepat,” tutup dia. (hum.ry)

Posting Komentar

0 Komentar