Jakarta, tjahayatimoer.net (11/12/2022) – Sederet persoalan hak asasi manusia (HAM) menjadi sorotan Komnas HAM pada peringatan Hari HAM Sedunia 2022 kemarin (10/12). Salah satunya pengesahan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang menjadi kontroversi di kalangan masyarakat sipil.
Dalam kacamata Komnas HAM, tidak sedikit pasal pada KUHP baru yang berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM. Misalnya, pasal yang mengatur mengenai unjuk rasa dan demonstrasi (pasal 256). Pasal tersebut menjadi celah bagi polisi untuk memidanakan masyarakat yang melakukan demonstrasi tanpa pemberitahuan. Ancaman hukuman bagi masyarakat adalah pidana badan paling lama enam bulan atau pidana denda paling banyak kategori II (Rp 10 juta).
Pemberian sanksi hukuman badan dan denda tersebut sebelumnya tidak diatur dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Di UU itu, sanksi yang diberikan hanya pembubaran.
Selain demonstrasi, pasal yang mengatur tentang aborsi (Pasal 467 KUHP) turut disorot Komnas HAM. Dalam pasal tersebut, perempuan yang melakukan aborsi dipidana dengan pidana penjara paling lama empat tahun. Pidana badan itu tidak berlaku jika aborsi dilakukan perempuan yang hamil akibat tindak pidana kekerasan seksual atau pemerkosaan. ”Itu (pasal tentang aborsi, Red) berpotensi mendiskriminasi perempuan,” kata Ketua Komnas HAM Atnike Nova Sigiro dalam konferensi pers memperingati Hari HAM Sedunia di kantor Komnas HAM kemarin.
Komnas HAM juga menyoroti pasal penghinaan kehormatan atau martabat presiden dan wakil presiden (Pasal 218, 219, dan 220 KUHP). Pasal delik aduan itu mengisyaratkan pelaku penghinaan bisa dijerat hukuman pidana badan maksimal tiga tahun enam bulan. Hukuman itu bisa diperberat menjadi empat tahun enam bulan jika penghinaan disebarluaskan dengan sarana teknologi.
Pasal lain yang juga berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM adalah pasal 263 dan 264 tentang penyiaran atau penyebaran berita atau pemberitaan palsu. Kemudian, pasal 349-350 tentang hukuman badan atau denda bagi pelaku tindak pidana terhadap kekuasaan pemerintahan.
Atnike menjelaskan, pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran atas hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, berserikat, dan berpartisipasi dalam kehidupan budaya sebagaimana dijamin dalam Pasal 28 E UUD 1945 dan Pasal 15 Kovenan Internasional Hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya.
Pada momen peringatan Hari HAM Sedunia 2022 kemarin, Komnas HAM juga meminta pemerintah untuk memastikan kewenangan Komnas HAM tidak berkurang dalam hal penyelidikan pelanggaran HAM berat. Hal tersebut menyusul masuknya pasal-pasal tindak pidana berat terhadap HAM dalam KUHP. ”Pemerintah harus memastikan itu dengan membentuk aturan turunan dari KUHP,” kata Atnike.
Sebagaimana diberitakan, KUHP baru mengatur tindak pidana khusus (tipidsus). Salah satunya tindak pidana pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM berat yang diatur adalah terkait dengan genosida. Juga kejahatan terhadap kemanusiaan berupa serangan yang meluas atau sistematis terhadap penduduk sipil.
Di sisi lain, menanggapi isu tentang potensi menurunnya wisatawan mancanegara akibat larangan kohabitasi (kumpul kebo) dan perzinaan, Plt Dirjen Imigrasi Kemenkum HAM Widodo Ekatjahjana memastikan bahwa KUHP baru sejauh ini tidak memengaruhi kegiatan WNA di Indonesia. Dia mengklaim angka kedatangan WNA melalui tempat pemeriksaan imigrasi (TPI) laut, udara, dan darat pada 6–9 Desember justru naik signifikan. Yakni, tercatat sebanyak 93.144 orang. ”Jadi, tidak ada korelasi antara pandangan yang mengatakan bahwa disahkannya RKUHP akan menurunkan jumlah wisatawan asing serta investor dan pebisnis asing yang datang ke Indonesia,” ujarnya dalam keterangan tertulis.
Sementara itu, Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) tak bisa berbuat banyak mengenai pasal larangan zina di dalam KUHP yang bisa menurunkan kunjungan wisata. ”Sebetulnya kami tidak mau membayangkan penurunan. Kami berharap pemerintah dapat menyampaikan maksud aturan ini dengan tidak menurunkan minat, dampak, dan image buruk pada pariwisata indonesia,” ujar Sekretaris Jenderal PHRI Maulana Yusran.
Menurut dia, sebaiknya pemerintah menghindari segala isu atau narasi yang kontraproduktif terhadap branding atau promosi yang dilakukan untuk mengembalikan pariwisata Indonesia.(hum.ry)
0 Komentar