BANJARMASIN, tjahayatimoer.net (10/12/2022) – Kasus korupsi pengadaan lahan Bendungan Tapin mengarah ke dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Itu menjadi alasan mengapa sampai sekarang Kejaksaan Tinggi Kalsel belum menahan ketiga tersangka.
“Kami masih mencari alat bukti lain, karena ada dugaan mengarah ke TPPU,” kata Wakil Kepala Kejati Kalsel, Ahmad Yani seusai peringatan Hari Anti Korupsi 2022 kemarin (9/12).
Bendungan itu berada di Desa Pipitak Jaya, Kabupaten Tapin. Diresmikan Presiden Jokowi pada Februari 2021 lalu. Alasan lainnya, adanya batas waktu penyidikan yang membuat Kejati tak ingin gegabah.
“Agar jangan sampai nanti begitu ditahan, muncul kesulitan yang membuat kontraproduktif,” tambahnya.
Dakwaan TPPU itu menurutnya penting. “Sebagai upaya untuk mengembalikan uang negara,” imbuhnya.
Walaupun Yani belum mau menyebut, berapa sebenarnya kerugian negara dalam kasus ini. “Yang pasti ada dugaan jumlah biaya (ganti rugi) yang dibayarkan ke pemilik lahan tak sesuai dengan yang dikeluarkan,” terangnya.
Kejati sudah menetapkan tiga tersangka sejak 31 Agustus lalu. Mereka berinisial S, AR dan H. Namun ketiganya tak kunjung ditahan. Bahkan ketiganya diperiksa kembali pada Kamis, 10 November lalu.
S diketahui selaku kepala desa. Sedangkan AR adalah guru PNS dan H seorang wiraswasta
Kasus penyelewengan anggaran pembebasan lahan ini ditemukan Tim Pemberantasan Mafia Tanah. Mereka menemukan hal-hal yang mencurigakan dalam pengadaan tanah untuk proyek strategis nasional (PSN) tersebut.
Pada bulan Mei, status penyelidikan dinaikkan ke penyidikan lewat surat perintah Kepala Kejaksaan Tinggi Kalsel Nomor 02/0.3/Fd.2/05/2022.
Bendungan Tapin menelan anggaran hampir Rp1 triliun. Proyek tahun jamak ini digarap sejak 2015 sampai 2020.
Dalam kasus ini, tak kurang dari 20 saksi yang diperiksa. Dari pemilik tanah, kades, hingga mantan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Tapin.
Ketiga tersangka disangkakan dengan pasal berlapis. Pasal 12 huruf e Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. Kemudian Pasal 11 UU Tipikor.
Sisi lain, sepanjang tahun 2022, ada 37 perkara korupsi yang disidik Kejati. “Kami menginginkan, perkara-perkara yang masih berjalan supaya bisa diselesaikan secepatnya agar lekas mendapat kepastian hukum,” pungkas Yani. (hum.ry).
0 Komentar