Jakarta, Tjahayatimoer.net (11/12/2022) – Indonesia Corruption Watch (ICW) menilai peringatan Hari Antikorupsi Sedunia (Hakordia) 2022 layak disikapi dengan rasa berkabung atas runtuhnya komitmen negara dan robohnya harapan masyarakat. Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menyatakan, setelah menggempur habis-habisan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalui revisi UU KPK, kali ini hukuman kepada pelaku korupsi pun berhasil dipangkas melalui pengesahan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Pasal 603 KUHP baru, mengatur terkait tindak pidana korupsi, dengan pidana penjara paling singkat 2 tahun dan maksimal 20 tahun penjara. “Keseluruhan problematika tersebut dihasilkan dengan jalur politik, khususnya pembentukan undang-undang yang diinisiasi oleh Presiden Joko Widodo bersama segenap anggota legislatif di DPR,” kata Kurnia dalam keterangannya, Minggu (11/12).
Aktivis antikorupsi ini juga menilai, pada bagian lain struktur hukum seperti KPK, Kepolisian, Kejaksaan, maupun lembaga kekuasaan kehakiman praktis memburuk setiap tahunnya. Performa KPK sebagai garda terdepan pemberantasan korupsi juga semakin terpuruk di bawah komando Firli Bahuri.
"Masalah ini praktis semakin mengikis kepercayaan masyarakat terhadap KPK,” cetus Kurnia.
Tak kalah buruk, Kepolisian turut menunjukkan tren serupa. Berdasarkan catatan ICW, Korps Bhayangkara hanya mampu menyelesaikan tujuh persen dari total target 813 kasus sepanjang semester pertama tahun 2022.
Problematika lain juga, lanjut Kurnia, berada di Kejaksaan. Sekalipun banyak mengungkap perkara besar, namun kabar pemulihan kerugian keuangan negara jarang terdengar. Ditambah wacana pengampunan pelaku korupsi melalui restorative justice yang belakangan waktu terakhir kerap disampaikan Kejaksaan tanpa ada basis argumentasi.
"Apalagi kekuasaan kehakiman, ragam vonis ringan disertai pertimbangan ganjil hingga penetapan dua hakim agung sebagai tersangka menunjukkan bobroknya wajah pengadilan di Indonesia,” ujar Kurnia.
Dia mengungkapkan, dari aspek politik urgensi menghentikan laju korupsi belum menunjukkan upaya strategi dan hasil yang maksimal. Berdasarkan data penindakan KPK, sepertiga pelaku korupsi yang diungkap selama 18 tahun terakhir berasal dari lingkup politik, baik legislatif (DPRD maupun DPR RI) dan kepala daerah dengan jumlah 496 orang.
“Data ini semestinya menjadi alarm yang harus disambut dengan pembenahan menyeluruh pada sektor politik, terutama dalam lingkup partai politik dan pemilu,” tegas Kurnia.
Dia menegaskan, partai politik melalui fraksi-fraksi di DPR yang seharusnya menjalankan fungsi check and balances justru kompak menunjukkan kesewenang-wenangan dalam penyusunan regulasi bermasalah. Tak cukup itu, konflik kepentingan dengan balutan penunjukkan Penjabat Kepala Dearah tampak terang benderang dipertontonkan oleh pemerintah.
“Atas dasar itu, tak salah jika kemudian masyarakat melontarkan kritik tajam atas praktik kesewenang-wenangan tersebut,” papar Kurnia.
Di tengah kondisi korupsi terus merajalela dan tidak ada keseriusan pemerintah dalam memberantasnya, masyarakat semakin berada pada posisi yang sulit. Satu sisi, masyarakat semakin merasakan dampak dari korupsi dan kebijakan bermasalah. Di sisi lain, masyarakat juga dihadapkan pada ancaman kriminalisasi saat melapor dugaan korupsi atau menyuarakan kritik atas kebijakan yang semakin tidak menunjukkan keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat.
Hakordia tahun 2022 yang mengambil tema ‘Indonesia Pulih Bersatu Melawan Korupsi’ diharapkan bukan sekadar jargon, kegiatan seremonial, atau upaya bersolek pemerintah untuk meraup simpati masyarakat. “Momen ini harus digunakan sebagai momentum serius pembenahan aspek politik dan hukum dari seluruh cabang kekuasaan untuk mengembalikan ruh pemberantasan korupsi seperti sedia kala,” pungkasnya. (hum.ry)
0 Komentar