Ketika Cari Kepuasan Seksual, Seorang Pelajar Tewas Tergantung.



Surabaya, tjahayatimoer.net - Seorang pelajar SMA di Surabaya ditemukan tewas menggantung di rumahnya. Bukan karena bunuh diri, remaja pria berinisial PAR (16) itu tewas saat melakukan aktivitas kepuasan seksual bernama autoerotic asphyxiation atau afiksasi autoerotik.

Afikasi autoerotik merupakan perilaku memuaskan diri sendiri secara seksual dengan membatasi pasokan oksigen. Kasus langka ini ditemukan pada Kamis 16 Februari 2017 di sebuah perumahan kawasan Rungkut.

Korban pertama kali ditemukan oleh ibu tirinya, Sri Setyo Rahayu. Siang itu, ia mendapat telepon dari adik korban. Ia diberitahu bahwa korban belum juga menjemput dari sekolah. Sri lantas menelepon korban. Tapi tak kunjung diangkat.

Sehari-hari, PAR memang mendapat tugas menjemput adiknya di sekolah. Sedangkan yang mengantar saat pagi adalah ayahnya sebelum berangkat kerja. Namun waktu itu, PAR tak menjalankan tugasnya.

Mengetahui hal itu, ibu korban yang juga tengah bekerja kemudian pulang ke rumah. Ia semakin curiga karena pintu bagian samping rumah dalam keadaan terkunci, dan terpasang jas hujan yang diduga untuk menghalangi orang bisa melihat ke dalam.

Ibu korban kemudian masuk ke ruang utama rumah. Dari dalam kamar PAR, ibu korban melihat dari jendela apa sebenarnya yang terjadi dari samping rumah. Setelah diintip, terlihat tubuh PAR sudah tergantung.

Kaget melihat itu, ibu korban segera meminta bantuan tetangga. Karena terkunci, maka jendela kamar korban yang terhubung dengan tempat korban tergantung akhirnya dipecah.

Di sebelah tubuh korban ada tangga besi. Yang ganjil, korban bunuh diri dalam keadaan telanjang. Tali yang digunakan untuk bunuh diri juga diikatkan ke alat kelaminnya dan melilit tubuh bagian bawah juga. Keluarga menyimpulkan korban tewas gantung diri. Saat ditemukan, korban yang berbadan gemuk dalam posisi menggantung diri dengan menggunakan tali pramuka yang diikatkan pada besi penyangga atap rumah dengan menggunakan tangga.

Tak lama polisi bersama Tim Inafis datang ke lokasi. Meski tewas tergantung, namun polisi ragu menyimpulkan korban tewas karena bunuh diri. Sebab tak ditemukan surat wasiat atau pesan yang ditinggalkan. Polisi lantas melakukan olah TKP.

Sehari setelah peristiwa itu, polisi menyebut korban bukan bunuh diri, namun karena adanya dugaan aktivitas afiksasi autoerotik yang menyebabkan korban kehabisan oksigen dan tewas dalam keadaan tergantung. Hal ini disampaikan oleh Kasat Reskrim Polrestabes Surabaya AKBP Shinto Silitonga.

Dugaan tersebut muncul karena melihat kondisi PAR saat tewas tergantung. Korban tewas dalam kondisi telanjang. Selain tali pramuka yang menjerat lehernya, polisi juga melihat ada tali pramuka lain yang mengikat alat kelamin, pinggang, pantat, paha, dan tangannya.

Polisi menerangkan afiksasi autoerotik merupakan cara atau teknik merangsang diri sendiri dengan menghambat hingga menghentikan pasokan oksigen, dalam hal ini darah ke otak. Dalam kasus ini, korban melakukannya dengan cara hanging atau mencoba menggantung dirinya sendiri.

Selain tali di leher, PAR juga menghambat pasokan darah dan oksigen dengan mengikat bagian tubuhnya yang lain yakni alat kelamin pinggang, pantat, paha, dan tangan kirinya. Polisi menduga PAR selama ini cukup sering melakukan afiksasi autoerotik. Itu bisa dilihat dari rapi dan ketatnya lilitan tali yang mengikat tubuhnya. Indikasi itu juga bisa dilihat dari adanya bekas lama lilitan tali yang sudah ada di tubuhnya.

Alasan tersebut menurut polisi logis. Karena tujuan dari afiksasi autoerotik memang bukan kesengajaan untuk bunuh diri, tetapi untuk mencapai kepuasan seksual. Hanya saja, dalam kasus ini, polisi menemukan dugaan bahwa korban tidak bisa menyelamatkan dirinya sendiri akibat terlalu lemas karena kehabisan oksigen. Sehingga korban tidak bisa menarik simpul tali yang mengikat lehernya sendiri.

Dalam olah TKP, polisi juga menemukan bahwa simpul yang mengikat leher korban adalah simpul hidup. Tangan kiri PAR memang terikat, tetapi tangan kanan PAR bebas dari ikatan yang sengaja dimaksudkan untuk menarik simpul tali di lehernya. Namun, upaya itu tak tercapai karena PAR terlanjur lemas dan tak mampu menggerakkan tangannya.
Indikasi lain yang mengisyaratkan bahwa korban bukan bunuh diri adalah tidak ditemukannya silent dead atau pesan kematian dari rumah korban. Ciri lain yang mengindikasikan bahwa korban merupakan penderita afiksasi autoerotik adalah lokasi yang tertutup rapat. PAR menutup dan mengunci rumah. Bahkan pintu samping yang berongga ia tutupi menggunakan jas hujan.

Sedangkan dari keterangan keluarga, polisi juga menemukan informasi bahwa selama ini korban sangat tertutup dan pendiam. Korban sendiri saat itu baru sekitar satu bulan berada di Surabaya. Sebelumnya ia tinggal dengan ibu kandungnya di Malang.

Karena ada keluhan dari sekolahnya di Malang, korban lantas dipindahkan ke Surabaya dan tinggal bersama ayah dan ibu tirinya. Meski prestasi di sekolahnya tak menonjol, namun PAR selalu aktif jika ada kegiatan camping. Diduga dari kegiatan camping itulah korban belajar tali temali.

Kasus afiksasi autoerotik sebenarnya bukan pertama kali ditemukan di Surabaya. Meski langka, polisi pernah menemui kasus serupa pada tahun 2006. Saat itu, seorang pria berusia 30 tahun ditemukan tewas di kawasan Tenggilis dalam kondisi telanjang dengan sarung melilit lehernya. Hampir sama, sarung itu juga melilit kakinya sehingga kaki dan leher itu saling tertarik.(red.en)

Posting Komentar

0 Komentar