Surabaya, tjahayatimoer.net - Harga LPG dunia melesat tajam dari tahun lalu berkisar US$ 637/MT tetapi sejak Februari harga LPG dunia naik jadi US$ 775/MT dan pekan ini harga Contract Price Aramco (CPA) naik jadi US$ 900/MT. Sementara Indonesia sedang dalam program pemulihan ekonomi. Lalu apa yang akan terjadi jika harga dunia melambung tinggi?.
Pengamat ekonomi Universitas Airlangga (Unair), Dr. Wisnu Wibowo, SE., M.Si. menyebutkan kenaikan harga LPG bahkan minyak mentah dunia dipicu karena pasokan energi dunia dan kino diperparah dengan konflik perang Rusia – Ukraina.
“Sebenarnya harga LPG dan minyak mentah sudah diprediksi naik dan pemerintah sudah menyiapkan APBN untuk kenaikan. Namun kenaikan yang terjadi saat ini sangat jauh dari asumsi APBN. Dan hingga kini pemerintah belum menentukan sikap,” beber Wakil Dekan 1 Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unair itu.
Dikatakan, kebijakan apapun yang diambil pemerintah nantinya akan seperti buah simalakama. Kenaikan harga LPG dan minyak mentah punya pengaruh negatif dan juga positif bagi Indonesia. Karena Indonesia tak hanya konsumen melainkan juga produsen minyak bumi.
“Sekarang mari kita lihat dari dampak pengeluaran APBN dulu. APBN setiap tahunnya punya belanja subsidi listrik, elpiji, subsidi Pertalite, serta Pertamax yang masih juga disubsidi sedikit. Harga energi dunia naik otomatis subsidi juga bisa meningkat,” paparnya.
Dipaparkan, cara perhitungannya sederhana saja, misalnya kompensasi listrik, per 1 USD setiap harga bahan baku penghasil listrik maka tambahan subsidi dan kompensasi listrik bisa mencapai Rp 295 miliar.
“Nah sekarang kita hitung subsidi untuk elpiji, dimana setiap kenaikan US$ 1 akan membuat belanja APBN bertambah hingga Rp 1,47 triliun per tahun. Jika naik 40 dollar saja, maka APBN bengkak hingga Rp 77,5 triliun. Belum lagi minyak mentah yang semula di hitung dengan asumsi harga tertingginya US$ 63 per barrel sekarang sudah jadi US$ 115 per barrel. Jika kompensasi BBM per kenaikan US$ 1 saja membuat beban APBN sebesar Rp 2,6 triliun artinya akan ada Rp 137 triliun subsidi yang harus disiapkan pemerintah,” bebernya.
Wisnu mengatakan APBN akan membengkak bahkan jebol sebab asumsi defisit APBN terhadap PDB di 2022 sebenarnyahanya 4,85 persen. Namun Wisnu juga menjelaskan Indonesia juga diuntungkan dengan minyak dunia naik sebab Indonesia juga punya sektor hulu Minyak dan gas bumi.
Kenaikan harga minyak bisa berdampak pendapatan negara sektor migas. Dengan APBN ditarget 85,9 triliun dari sektor ini bisa naik lagi. Kenaikan pendapatan oleh negara sekror migas bisa membiayai subsidi.
“Kita tunggu saja hitung-hitungan pemerintah. Karena dengan monumen pemulihan ekonomi ini urusan minyak goreng dan kedelai mahal saja sudah membuat kelabakan,” akunya.
Lalu bagaimana solusinya?. Wisnu menyebutkan ada cara yang lain untuk berbagi beban, agar subsidinya bisa lebih fokus pada kelompok masyarakat yang disasar. Pertamax boleh naik sesuai harga pasar dunia, tetapi untuk kelompok yang rentan pada perubahan harga harus tetap ada subsidi.
“Gunakan sistem gotong royong. Kelompok rentan ekonomi harus dibantu kelompok yang mampu. Jangan sampai pengeluaran subsidi membengkak, jadi gotong royong sangat perlu,” sarannya.
Ditambahkan Pertalite yang konsumsinya masih 47 persen dari penjualan BBM nasional, bisa dikurangi kuotanya. Yang ekonomi mampu bisa beralih dari pertalite ke Pertamax. Begitu juga dengan elpiji 3 kg tetap ada subsidi tetapi yang mampu harus beralih ke elpiji yang non subsidi. Jangan sampai keuangan negara berdarah-darah.
“Pertamina juga harus dipikirkan keberlangsungan bisnisnya. Karena sebagai BUMN penyedia BBM potensial loss nya jadi banyak. Kerugiannya makin tinggi. Semakin lama berdampak pada keuangan Pertamina sebagai Besar. Bisa-bisa mereka tidak bisa lagi jualan elpiji dan BBM,” akunya.
Pada akhirnya Wisnu berharap pemerintah bisa mengambil kebijakan terbaiknya dengan menyelamatkan keluarga yang rentan tetapi juga menghitung kondisi geo ekonomi dunia dan lifting dalam negeri sendiri. (red)
0 Komentar