Kata Panglima TNI soal Dugaan Anggotanya Terlibat Kasus Satelit Kemenhan



Jakarta, tjahayatimoer.net - Anggota TNI terindikasi terlibat dalam kasus pelanggaran pengelolaan satelit untuk slot orbit 123 Bujur Timur sejak 2015 di Kementerian Pertahanan. Penyidik Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Agung bahkan telah memanggil dua purnawirawan TNI untuk diperiksa sebagai saksi.

Panglima TNI Jenderal Andika Perkasa mengatakan mendukung pengusutan tersebut karena memang sudah diumumkan oleh Jaksa Agung bahwa penanganannya akan ditindaklajuti dengan peradilan koneksitas. 

“Nah tapi nanti harus ada putusan yang lebih tinggi lagi, bukan hanya Jaksa Agung,” ujar Andika usai rapat kerja dengan Kemenhan dan Komisi I DPR di Komplek Parlemen. Kamis (17/02/2022).

Menurut Andika peran peradilan militer dan peradilan umum untuk melihat besaran kerugiannya. Misalnya kata dia, kerugian Negara lebih berat pada TNI, maka kemungkinan besar akan diputuskan oleh Mahkamah Agung supaya peradilannya di peradilan militer.

Sebaliknya jika kepentingan yang dirugikan lebih banyak di konteks nonmiliter, maka pengadilannya di perdilan umum. 

“Tapi tetap peradilan koneksitas, karena dilakukan bersama-bersama antara warga masyarakat nonmiliter dan anggota militer pada saat terjadinya tindak pidana,” tutur Andika.

Sebelumnya Menkopolhukam Mahfud Md menjelaskan bahwa kasus itu bermula pada 19 Desember 2015 saat Kemenhan mengambil alih hak pengelolaan orbit 123 BT dari Kementerian Komunikasi dan Informatika. Kemenhan menyebut tindakan itu untuk membangun Satelit Komunikasi Pertahanan (Satkomhan).

Kemenhan menggaet Avanti Communication Limited (Avanti) untuk menyewa Satelit Artemis sebagai satelit sementara pengisi orbit (floater). Tak hanya dengan Avanti, kontrak juga dilakukan dengan Navajo, Airbus, Hogan Lovel, dan Telesat.

Kontrak dibuat dalam kurun waktu 2015-2016 dan dilakukan untuk membuat satelit komunikasi pertahanan. 

"Dengan nilai sangat besar, padahal anggarannya belum ada. Berdasarkan kontrak itu, kontrak yang tanpa anggaran negara itu jelas melanggar prosedur," kata Mahfud.

Avanti kemudian menggugat pemerintah di London Court of International Arbitration karena Kemenhan tidak membayar sewa satelit sesuai  nilai kontrak yang telah ditandatangani hingga pada 9 Juli 2019. Pengadilan arbitrase di Inggris menjatuhkan putusan yang berakibat negara membayar dan mengeluarkan pembayaran untuk sewa satelit artemis ditambah dengan biaya arbitrase dan limit sebesar Rp 515 miliar. 

"Jadi negara membayar 515 miliar untuk kontrak yang tidak ada dasarnya," kata Mahfud.

Selain dengan Avanti, gugatan juga dilakukan oleh Navajo. Belakangan, Pengadilan arbitrase di Singapura kemudian memutus Indonesia harus membayar $ 20.901.209 atau setara Rp 304 miliar terhadap sengkarut permasalahan penyewaan satelit tersebut. (red)

Posting Komentar

0 Komentar